Select Menu
Select Menu

Favourite

Jawa Timur

Wisata

Donasi Untuk Palestina

Culture

Transportasi Tradisional

Rumah Adat

Bali

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » Bab Ziarah Kubur


Abahe Ramona 08.02 0



Ziyarah qubur artinya mengunjungi kubur. Mengunjungi Kuburan dalam Islam hukumnya adalah Sunnah. Berkunjung ke Kuburan diawali dengan ucapan salam kepada semua penghni kubur. Kita bersalam, Insya Allah, para ahli kubur dari kalangan muslimin dan muslimat akan menjawabnya.

Bukankah mereka dalam kubur hanya fokus pada pertanggungjawaban semua amaliyahnya di dunia dan semua amaliyahnya sudah berhenti ketika mereka mati? bagaimana kita dapat mengharapkan balasan salam dari mereka?

pertanyaan ini biasanya ditanyakan dari orang-orang yang kurang akrab dengan tradisi melakukan ziarah kubur. Memang benar bahwa orang yang meninggal akan terputus semua amaliyah di dunia. Hanya perbuatan dengan raga ini lah kita kelak akan menanggung apa yang kita lakukan selama di kubur. Tetapi mayyit dapat mendengarkan salam yang kita sampaikan kepadanya. Sehingga dalam berziyarah kubur, kita tidak mendatangi onggokan bekas tubuh manusia, melainkan benar-benar berkunjung (ziyarah).

Memang benar apa yang dikatakan oleh "para putra pak wahhab", bahwa begitu banyak dalil dari nash al Qur'anul Karim sampai pada hadits-hadits Shohih yang menyatakan bahwa orang meninggal itu terputus lah semua amaliyahnya, ia hanya diberikan kesempatan bertindak kebajikan atau kemunkaran hanya ketika di dunia. Tetapi yang perlu diingat, bahwa tak ada satu pun dalil dari al Qur'an yang menyatakan bahwa jenazah itu hanya onggokan, sehingga kita tak perlu lagi ziyarah kubur, cukup di rumah saja tak masalah kalau mendoakan mereka.

Jenazah mesti diberikan kain kafan, disholati, dan dikuburkan dengan beberapa rukun keperawatan jenazah. Begitu juga ada sholat ghoib bagi yang tidak dapat menjangkau jenazah, karena tempatnya berjauhan. kita jga dianjurkan untuk mengiringi jenazah sampai ia dikuburkan. Jadi, dalam urusan jenazah, ia bukan hanya seonggok yang layak dimakan oleh Soemanto. Bahkan Nabi sendiri menganjurkan kita untuk berdiri apabila ada jenazah lewat, walaupun si mayat itu orang kafir sekalipun.

 walau secara biologis sama dan digolongkan dengan kelompok monyet, perlakuan kepada jenazah manusia merupakan sakral. dan perlakuan kita dengan mayat harus pula dibedakan dengan perlakuan dengan kera. Tidak mungkin bagi kita memberi kain kafan dan menyolati kera yang telah mati. Cukup dikubur dengan maksud pragmatis saja, kalau dibiarkan maka akan bau, kalau dimakan hukumnya haram, kalau dibuang nanti malah mengganggu lingkungan. Pengkuburan manusia jelas tidak berlandaskan atas logika tersebut. Kecuali kalau manusia itu meledakkan dirinya hingga berkeping-keping, dan tubuhnya hancur berserakan disana-sini sehingga sulit untuk menyatukan. Maka proses pengkuburannya hanya dibiarkan saja, karena tidak mungkin melaksanakan syariat agama secara ideal dalam hal ini. karena "kemudahan" merupakan syariat dari Allah juga.

Begitu juga ada adab sendiri terhadap jenazah. Kita tak mungkin memperlakukan jenazah semaunya. ditonjok-tonjok, diludahi dan sebagainya. Dalam diri kita yakin, bahwa selain ada wadag (tubuh) ada juga ruh yang berada di sekitar jenazah. karena kuburan adalah tempat berkumpulnya para mayat, maka dekat dari sana lah ruh-ruh manusia ada. sehingga kita diperintahkan untuk melakukan salam apabila memasuki kuburan.

Sehingga apabila kita berziyarah ke makam keluarga kita, sama dengan kita mengunjungi dia. Kita yakin bahwa keluarga kita mengetahui kedatangan kita, mendoakan dia, dan dia tahu bahwa kita masih peduli dengan dia. Jadi perlu adab ketika berada dalam kubur. tak boleh kita menduduki kuburan.Kuburan bukan lah "Tempat Tanpa Hukum Fiqh", sehingga kita di situ ngapain saja tak bermasalah asal tidak mengganggu lingkungan. Bahkan, ada hadits shohih yang menyatakan bahwa bila kita berjalan di sela-sela kuburan kita harus melepaskan sandal kita.

Kekurangcermatan kita dalam memandang ziarah, seakan memberikan kita dorongan bahwa berziyarah itu hanya berdoa dan untuk mengingat kematian belaka. kedua maksud tersebut adalah maksud pragmatis yang logis. mengingat kematian karena kita akan tahu kelak kita pasti akan mati, dan mendoakan karena doa itu pengharapan yang disampaikan kepaa Allah. Padahal, arti kata "ziyarah" itu sendiri adalah Zaa-ra - ziyarotan ,, kunjungan. kita berkunjung, atau bertamu disana. Jadi Ziyarah juga dapat dimaknai sebagai silaturahmi terhadap ahli kubur.

Nah, bagaimana dengan kepercayaan bahwa berziyarah itu untuk mengharapkan berkah. "Berkah" itu sendiri maksudnya "Ziyadatul Khoir" (Bertambahnya Kebaikan). sudah tentu, apabila kita bersilaturahmi, mendoakan dan mengingat kematian pada dirinya sendiri sudah berkah, karena di situ lah letak keberkahannya. Jadi berkah itu tidak datang dari kuburan, tapi datang karena amalan kita. Berkah diberikan Allah kepada manusia yang berbuat kebajikan dlaam bentuk apapun, termasuk berziyarah kubur.

Apabila kita berziarah ke kuburan walisongo, maka itu sama saja dengan berkunjung kesana, sebagaimana kita berkunjung ke rumah pejabat. Di kuburan walisongo juga telah antri banyak orang yang berkunjung, sebagaimana rumah pejabat juga ramai orang yang akan berkunjung. Apabila berkunjung ke kuburan wali dinamakan sebagai bid'ah, kenapa berkunjung ke rumah pejabat tidak dinamakan bid'ah?

Apabila kita berkunjung ke rumah pejabat karena Allah, juga akan mendapatkan berkah, sebagaimana kita berkunjung ke pusara ulama', apabila itu dilakukan untuk mengharapkan ridho Allah semata, maka hal itu akan menjadi berkah. Keberkahan tidak datang dari kuburan, sebagaimana seorang pejabat tidak dapat memberikan keberkahan kepada para pengikutnya. Kuburan beserta mayat didalamnya hanya lah wasilah semata. sebagaimana raudhah atau beberapa tempat yang dianjurkan sebagai wasilah. Ahli kubur kita percaya untuk dijadikan wasilah, karena kita percaya akan kedekatannya dengan Allah. Wasilah dapat ditempuh di temapt mana pun, dimana kita yakin bahwa tempat itu mampu membuat kekhusyukan di hati kita atau kita merasakan kedekatan kita dengan ALlah. baik itu di masjid, di rumah, atau di kuburan para ulama' atau auliya'.

Dalam ayat al Qur'an disebutkan "wabtaghuu ilaihi al washilata" yang diterjemahkan (secara tekstual), dan carilah perantaraan kepada Allah. Perantaraan itu dapat ditempuh melalui jalur apapun asalkan tidak melanggar syara'. Misalnya yang paling umum adalah bertadabbur, berkumpul dengan orang sholeh, mengingat para ulama' atau para auliya', atau bersiaturahmi ke para kiai khas. Berkunjung ke kuburan dapat pula menjadi wasilah, karena "selera washilah" berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Apabila para santri modern lebih suka melihat tayangan video Harun Yahya, tetapi di lain pihak terdapat golongan santri yang meningkatkan iman dengan cara mengingat ulama'. Bahkan banyak kasus, seorang Nahdliyin dengan cara mengingat para ulama' semacam Gus Mik, mampu menimbulkan getar keimanan.

Begitu juga Kuburan jelas mempunyai makna yang berbeda antara golongan "santri kota" dan "santri tradisional". GOlongan Santri kota tak begitu mempermasalahkan apabila ada bangunan yang menempati di atas areal kuburan. tetapi bagi santri tradisional, hal itu bermasalah. Kuburan bukan lah hanya sekedar tempat pragmatis, tempat "membuang" onggokan tubuh bekas manusia, melainkan lebih dari itu, tempat jasad dan ruh bersemayam. Apalagi Kuburan para ulama' atau orang sholeh yang dipercaya sebagai wali.

Oleh karena itu, kunjungan ke kuburan ulama' atau auliya' adalah orang-orang yang biasanya berasal dari kehidupan sosiologis patron klien kiai-santri yang sangat kental. Hal ini sangat wajar terjadi, karena hubungan patron-klien antara kiai dan santri bukan lah hubngan profan dan keduniaan semata. hubungan keduanya, adalah hubungan antara pembina dan anak didik, guru dan murid, yang kebanyakan bersifat spiritual. Ada nuansa kekhusyukan apabila memandang para guru, sehingga para ulama' di lingkungan patron-klien yang kental, terlihat dikerubuti dan terlihat sisi kharismatiknya. Orang yang berdoa bersama para gurunya terlihat lebih khusyuk dibandingkan apabila berkesendiri. Hal ini juga terbawa, apabila sang guru wafat. Makamnya juga dikerubuti sebagaimana dulunya beliau hidup. Selain itu, terdapat pula tradisi-tradisi manaqib yang menceritakan para ulama'-auliya'. sejarah biografi sang guru, dari pendidikan keluarga, riwayat pesantren, kepada siapa berguru dan bagaimana akhlaqul karimahnya, hal itu lah seakan mendorong orang untuk berkunjung ke kuburannya. Jadi lah tradisi Ziarah ke makam-makam para ulama' atau auliya'. DI Jawa dikengan dengan ziarah kepada para makam walisongo.


Berziarah yang dilarang

Tetapi kita tidak boleh menutup fakta tentang banyaknya kuburan yang dijadikan tempat permohonan. Misalnya di Gunung Srandil, pinggir Waduk Kedong Ombo-Boyolali. DIsana mereka meminta kekayaan kepada Kuburan, dan mempercayai bahwa makam itu dapat mengeluarkan Kemaslahatan terhadap siapa saja yang menziarahinya.Hal itu benar-benar Syirik, karena kita yakin dan meminta pada suatu yang Ghaib yang tidak ditujukan kepada Allah.

Kuburan itu tempat untuk bertabarruk atau berwasilah, tetapi kuburan bukan untuk dikeramatkan. Wasilah dan Tabaruk berbeda dengan "Dikeramatkan". Bertabarruk dan berwasilah berhubungan dengan amaliyah kita, washilah, dan Allah. Tetapi Keramat, sudah meyakini bahwa Kuburan itu sendiri sudah bertuah. Dalam Islam sendiri berbagai ornamen tidak lah mulia pada dirinya sendiri, bahkan Hajar Aswad sekalipun. Ka'bah pun mengalami pemugaran, bahkan sesuda Nabi wafat.Apalagi "hanya sekedar" kuburan.

Dua bentuk "ekstrimis"
Jadi ada dua bentuk Ghuluw atau sikap berlebihan dalam Memandang Ziarah atau Kuburan

1.  Sikap yang tidak mempeduliikan kuburan, menyepelekan masalah ziarah kubur, dan mengaggap ziarah kubur sebagai aktivitas tak bermakna karena berkeyakinan bahwa apapun yg kita lakukan terhadap ahlul qubur tidak berimbas dengan kehidupan mereka di alam sana. Sikap ini tidak hanya ditemukan oleh kaum (apa yg sering dinamakan) wahabi, melainkan sikap jauh lebih parah ditemukan dari kalangan para penganut liberalisme, atheistik dan materialisme.

2. Sikap yang memandang kuburan sebagai keramat, dengan memunculkan banyak cerita yang berisi tentang mitologi-mitologi bohongan, dan meyakini bahwa kuburan mempunyai "kesaktian" sendiri, sehingga kuburan disakralkan sedemikian rupa sebagai tempat memohon berbagai hajat kita.


Wallahu A'lam Bish Showwab

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama