Terorisme, Korupsi dan Media Massa: Pengukur Harga Diri
Abahe Ramona
01.34
0
Oleh: M. Nahrawardhaya
Sumber: http://www.mustofanahrawardaya.com
KETIKA Ahmad
Fathanah terbukti memberikan uang dan harta benda kepada banyak wanita dalam
kasus impor daging sapi, maka para wanita itu dengan sigap mengembalikan
seluruh harta dan uang yang diduga berasal dari hasil korupsi tersangka.
Sebagian lagi, tidak bisa mengembalikan karena sudah terpakai. Pemberitaan yang
bertubi-tubi terhadap penerimaan uang haram dari pelaku, benar-benar membuat
para wanita di sekitar Fathanah ketakutan, dan tidak mau diikutkan dalam daftar
nama kotor penerima uang korupsi. Menerima uang yang bukan haknya, apalagi
diberitakan setiap hari oleh media massa, terbukti sangat efektif menampar
kehormatan para wanita itu, sekalipun sebenarnya para penerima tersebut tidak
mudah begitu saja dijerat pidana.
Boleh saya katakan, langkah buru-buru para penerima dana Fathanah
mengembalikan uang, menurut saya bukan karena semata-mata mereka taat hukum,
melainkan juga karena adanya ketakutan nama baik mereka tercemar oleh berita
korupsi. Di luar itu, saya beranggapan bahwa penerimaan dana korupsi oleh para
wanita di sekitar Fathanah, belumlah kelar duduk persoalannya, karena menurut
catatan saya, dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang pernah menerima dana
serupa juga bisa bebas dan tidak bisa dipidana karena alasan tidak tahu bahwa
dana tersebut adalah hasil korupsi. Alasannya sederhana, tidak mungkin penerima
dana akan mengurus secara detail kepada seseorang atau pihak pemberi uang
bantuan, karena dalam tradisi budaya dan banyak agama kita, memberi dan
menerima bantuan adalah hal yang lumrah, bahkan disarankan dalam sebagian agama
yang saya kenal.
Meski begitu, saya patut memberikan apresiasi kepada KPK, karena
langkah-langkah tegasnya dalam memberantas korupsi, hingga para penerima yang
tidak mengerti keruwetan tata hukum dan keruwetan pasal pidana itu, bisa
mengembalikan kepada Negara, apapun yang pernah diberikan oleh para tersangka
korupsi. KPK sudah pasti patut berbangga. Bagaimanapun, fenomena ini bisa
dijadikan tolok ukur sejauh mana kewibawaan KPK di mata masyarakat. Terbukti,
siapapun yang menerima uang yang seharusnya tidak diterima, bersedia mengantar dana
“haram” korupsi tersebut kepada Negara, bahkan dengan kesadarannya, tanpa dipaksa
atau tanpa melalui todongan senjata.
Jika warga negara yang merasa tidak berhak menguasai harta benda dan uang
dari pihak yang berperkara kemudian mengembalikan karena malu dan takut, apakah
langkah serupa bisa ditiru aparat kita?
Coba kita lihat pemberitaan terorisme. Kadang seorang terduga teroris
yang ditangkap dan bahkan ditembak mati, keluarga terduga ini tidak bisa
berbuat banyak saat harta benda yang tidak terkait teroris diambil oleh oknum
aparat Densus. Setelah kepala keluarganya ditangkap dan ditembak, maka banyak
barang diambil dari rumah terduga. Mulai dari barang elektronik berbentuk
kabel, serbuk, pipa, hingga uang. Tidak diketahui, apakah barang-barang dan
uang tersebut seluruhnya akan digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan atau
tidak.
Sebagai contoh pada September 2012, ketika salahsatu terduga teroris
Firman ditangkap di Depok, keluarga mengaku kaget karena selain “membersihkan” apapun
barang bergerak di rumah tempat Firman ditangkap, ternyata oknum Densus pun
mengambil dompet keponakan Firman yang masih sekolah di Sekolah Dasar. Ada uang
tabungan di dompet anak SD tersebut, lenyap. Apa hubungannya dompet anak kecil
dengan perbuatan pamannya?
Beberapa hari lalu, di awal minggu kedua Bulan Mei 2013, ketika Densus
menggerebek rumah terduga teroris di Kendal, kejadian serupa kembali terulang.
Saat itu, rumah keluarga Purnawan Adi Sasongko digedor dan digeledah Densus. Uang
Sasongko yang didapatnya dari RSI (Rumah Sakit Islam) dan Jamsostek sebagai
pesangon dan uang hasil ternak kambing pun lenyap digasak Oknum Densus. Protes
keluarga terduga, tidak menyurutkan “semangat” oknum untuk membawa kabur uang
tersebut.
Keluarga Iwan berharap Polisi tidak main gasak, namun Polisi bisa memanggil
pihak RSI maupun orang-orang yang berdagang kambing dengan Iwan untuk dimintai
keterangan soal kebenaran asal-usul uang. Tujuannya satu, agar uangnya kembali.
Bagaimana pun, asal-usul uang perlu diperiksa, tidak sekedar main ambil seperti
perampok. Keluarga ini memang berniat bikin usaha apotik kecil-kecilan, tapi pada
pagi harinya, justru judul berita sadis yang dibaca: Terduga Teroris Ingin
Bikin Apotik! Ada kesan para terduga teroris ini benar-benar sangat serius
jaringan bisnis haramnya, hingga ingin mendirikan apotik segala. Padahal,
memang pekerjaannya adalah apoteker.
Keluarga Sigid Qurdowi, terduga teroris yang ditembak mati oleh Densus
dua tahun silam, tambah parah. Rumah terduga teroris yang ada di kampung,
pernah menerima sebilah samurai dari Keraton Surakarta yang akhirnya dipajang
sebagai hiasan di dinding. Sesaat setelah Qurdowi ditembak mati, samurai itu
pun disita sebagai barangbutki. Keluarga Sigid yang “berbisnis” rias pengantin
juga kaget, karena serbuk bedak hitam yang biasa dipakai untuk merias pengantin
ternyata disita Densus dan diakui sebagai bahan kimia. Ada senapan angin rusak,
yang biasa untuk menembak tikus dan burung di kampung, juga disita dan akhirnya
menjadi berita besar. Masyarakat yang membaca berita ini, menjadi geram kepada
keluarga Qurdowi. Pada saat yang sama, Densus juga menyita 4 buku terjemahan
singkat tafsir karya Ibnu Katsir, 1 buku bertuliskan 101 sahabat nabi karya
Hepi Andi Bustomi, 1 buku ringkasan tafsir karya Ibnu Katsir jilid 1, 1 buku
ringkasan tafsir karya Ibnu Katsir jilid 3, 1 buku ringkasan tafsir karya Ibnu
Katsir jilid 4, 1 buku indeks Al Qur’an. Meski bukan berbentuk uang, keluarga
berharap benda-benda dikembalikan tersebut karena jelas tidak terkait
terorisme.
Pondok Pesantren Umar Bin Khatab (UBK) di Bima bernasib sama. Ketika
penggerebekan berlangsung, Pesantren diobrak-abrik. Ada satu peti Al Qur’an
disita dari tempat itu. Selain Pesantrennya diledakkan oleh oknum gelap dengan
sebuah granat tangan hingga menewaskan 1 petugas pondok, nama Pesantren UBK pun
kini tinggal sejarah. Barangbukti berupa Al Qur’an yang disita dari Pesantren,
jelas tidak layak diseret menjadi barangbukti dan seharusnya dikembalikan karena tidak terkait terorisme.
Nah, seperti halnya media memberitakan sambung menyambung setiap hari
terhadap wanita-wanita di sekitar Fathanah, saya membayangkan apabila media
memberitakan terus menerus soal penyitaan sadis oknum aparat terhadap warga
negara ini, setidaknya ada sedikit kekhawatiran aparat kita, dan ada ketakutan rasa
hormatnya bisa tercoreng akibat penyitaan uang, harta benda milik terduga teroris
yang tidak terkait dengan kasus itu sendiri. Jika perempuan-perempuan sekitar
Fathanah dengan sadar bisa mengembalikan uang yang diduga berasal dari proses
haram, kenapa barang dan uang yang terlanjur diambil oknum aparat itu tidak
dikembalikan karena diduga tidak terkait kasus terorisme?
Jika Media mengawal semua kasus, termasuk Korupsi dan Terorisme secara
berimbang, maka semua aparat dan warga negara akan takut berbuat salah. Mereka
akan menghormati dirinya sendiri dan menghormati hukum serta Lembaga Hukum yang
ada. Jika penanganan korupsi bisa bergaya seperti sekarang, kenapa penanganan
terorisme tidak? Menurut saya kuncinya ada di media.
Jika media secara bersama-sama berani mengawal kasus seperti halnya media
mengawal Fathanah, maka media seharusnya juga berani mengawal kasus terorisme.
Sehingga tidak ada lagi kecurigaan bahwa barang dan uang yang diambil dari
terduga padahal tidak terkait kasus, akan dikembalikan baik-baik oleh aparat.
Kenapa media perlu mengawal kasus terorisme? Karena persis KPK, Densus pun
juga pernah menyita rumah, mobil, maupun benda berharga lainnya dari para
terduga teroris. Nilainya milyaran rupiah. Keberadaan barangbukti-barangbukti
dan aset-aset terduga teroris itu perlu dipantau. #
Salam
Mustofa B. Nahrawardaya
Koordinator Indonesia Journalist Forum (IJF)
Jl Menteng Raya 62 Jakarta Pusat
@MustofaNahra