Kebohongan Wartawan Jawa Pos Meliput Teroris
Abahe Ramona
19.06
0
Sumber: Voa-islam
Padan edisi 3 Oktober 2005, dua hari setelah tiga rangkaian bom
meluluhlantahkan sejumlah restoran di Jimbaran dan Kuta, Bali, Harian
Jawa Pos mempublikasikan sebuah artikel berjudul: “Kasihan, Warga Tak
Berdosa Jadi Korban”. Artikel itu dibuat berdasarkan wawancaran koran
itu dengan Nur Aini, istri dari buron tersangka diduga teroris, Dr.
Azahari.
Hal itu terungkap dalam diskusi dan bedah buku “Panduan Jurnalis
Meliput Terorisme” yang diterbitkan oleh Tim AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) Jakarta.
Wawancara itu dilakukan via telepon melalui telepon oleh jurnalis
Jawa Pos Rizal Husen, mengingat Nur Aini ada di Johor, Malaysia. Koran
itu juga menambahi keterangan dengan wawancaranya itu merupakan
wawancara secara eksklusif.
Satu bulan kemudian, Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya
dengan Nur Aini. Artikel itu dimuat pada 10 November 2005, beberapa hari
setelah Azahari dilaporkan tewas dalam operasi
penyergapan polisi di
Villa Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Judul artikelnya “Istri Doakan
Azahatri Mati Syahid”, juga diklaimnya dari hasil wawancara wartawan
yang sama (Rizal Husen) dengan istri Azahari. Suara perempuan Malaysia
itu juga digambarkan sesekali seperti terisak menahan tangis. Koran itu
juga menggambarkan dialek Nur Aini kental dengan logat Melayu.
Ada sebuah fakta penting yang mempertanyakan wawancara Rizal Husein,
sang wartawan Jawa Pos yang katanya pernah mewawancarai narasumbernya.
Ternyata faktanya, Nur Aini sama sekali tidak bisa bicara. Sejak
beberapa tahun sebelumnya, perempuan itu menderita penyakit kanker thyroid, yang
membuat pita suara di tenggorokannya terganggu. Kebohongan telah
terungkap dari seorang jurnalis Jawa Pos yang membuat berita bohong,
fiktif dan rekayasa.
Kebohongan Rizal makin terang benderang, ketika beberapa saat
kemudian, stasiun televisi Trans TV menayangkan wawancara langsung
dengan Nur Aini. Dalam tayangan Trans TV itu, Nur hanya bisa
berkomunukasi lewat tulisan tangan.
Kebohongan Rizal terungkap, ketika tidak adanya catatan data
percakapan telepon dari nomor telepon yang digunakan sang wartawan
tersebut dipangkalan data (database) Telkom. Meningat ia mengaku
mewawancarai Nuraini via telepon
Dewan Redaksi Jawa Pos pun langsung mengkonfirmasi Rizal. Benar saja, Rizal
sama sekali tidak menghubungi perempuan itu. Alhasil, Rizal pun
dipecat, dan tak termaafkan.Kepada Dewan Redaksi Jawa Pos, Rizal Husein
mengaku tidak punya itikad jahat. Dia hanya ingin Jawa Pos menjadi
media terdepan dalam liputan terorisme.
Ternyata bukan hanya wartawan Jawa Pos yang pernah membuat berita bohong. Seorang jurnalis The Washington Post,
Janet Leslie Cooke, pernah membuat feature dramatis tentang seorang
anak kecil berkulit hitam berumur 8 tahun yang menjadi pecandu berat
narkotika. Anak itu tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang pengedar
narkoba. Ayahnya, bahkan ikut menyuntikan narkotik kepada anaknya jika
sedang kecanduan.
Berkat tulisannya itu, Janet kemudian mendapat hadiah jurnalistik
tertinggi di Amerika Serikat, Pulitzer. Namun belakangan, Janet tak bisa
menunjukkan keberadaan si anak malang dalam beritanya. Ketika
tersingkap cerita mengharukan anak itu ternyata hanya isapan jempol
belaka alias fiktif. Jurnalis pembohong itu tanpa ampun dipecat dari The Washington Pos, tempatnya bekerja.
Jurnalis dan Program Deradikalisasi
Yang menjadi kemuakan jurnalis Islam di lapangan adalah kenapa setiap
kali diadakan diskusi, seminar, workshop dan berbagai forum lainnya,
selalu menampilkan narasumber yang tidak berimbang.
Narasumbernya tak
jauh dari Ansyad Mbai (Kepala BNPT), Hendropriyono (mantan BIN), Nasir
Abas (mantan JI) pengamat asing seperti Sydney Jones (ICG) dan pengamat
intelijen lokal lainnya yang pro polisi.
Ketika itulah, jurnalis menjadi bagian dari peserta yang mengikuti
program deradikalisasi ala BNPT yang sarat dengan brandwashing (cuci
otak). Akibatnya, jurnalis terjebak dengan narasumber yang punya banyak
motif kepentingan.
Sementara itu, pembaca tak suka dengan keseragaman. Mereka memerlukan
bacaan alternatif dengan analisis yang berbeda dan mencerahkan. Begitu
juga saat wartawan dipaksa untuk hanya memiliki satu akses saja di
kepolisian. Begitu ada kasus pengeboman atau terbunuhnya seseorang, maka
wartawan merasa sudah cukup nongkrong di Mabes atu Polda untuk
mendengar keterangan dari Humas Polri.
Wartawan itu, bisa karena malas, lelah, jenuh, atau enggan untuk
melakukan verifikasi tentang korban tersebut, apakah benar sebagai
pelaku atau cuma fiktif atau rekayasa polisi saja. Di zaman Munir,
Kontras adalah lembaga yang menjadi penyeimbang dari informasi yang
disampaikan penguasa. Tapi, kini Kontras tak segarang Munir memimpin
dulu. Boleh jadi karena ada tekanan-tekanan dari pihak aparat.
Dalam liputan terorisme, banyak jurnalis tergelincir menjadi corong
salah satu pihak. Ada juga yang terjebak sensasi. Ada banyak motif
dibalik kesilapan itu. Sebagian terjadi murni sebagai kelalaian. Namun
ada juga yang didorong nafsu jurnalis untuk menghasilkan liputan
terbaik, tercepat maupun terbaru.
Terkadang, dorongan untuk menghasilkan liputan eksklusif membuat
jurnalis gelap mata dan mengabaikan etika jurnalistik. Apalagi, jika
dorongan mengejar eksklusivitas itu didasari oleh manajemen keredaksian
yang selalu menanamkan kompetisi dengan media-media pesaing di
lapangan. Akibatnya menjadi sikut-sikutan untuk menjadi yang pertama
mengabarkan. Faktor lain, juga disebabkan, kelelahan atau kejenuhan sang
jurnalis di lapangan sehingga mengabaikan kode etik jurnalistik saat
bertugas di lapangan.
Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen), ada sembilan dosa jurnalis
dalam meliput kasus terorisme, yakni: mengandalkan satu narasumber
resmi, lalai melakukan verifikasi, malas menggali informasi di lapangan,
lalai memahami konteks, terlalu mendramatisasi peristiwa, tidak
berempati pada narasumber, menonjolkan kekerasan, tidak memperhatikan
keamanan dan keselamatan diri, dan menyiarkan berita bohong.
Seringkali terjadi, jurnalis memperlakukan narasumber seperti
tertuduh dan tersangka. Disadari atau tidak, wartawan yang bersangkutan
kerap memojokkan narasumer dihadapan audiens.