Antara Kebebasan, HAM & Agama
Abahe Ramona
00.30
0
Kebebasan
mempunyai keterkaitan penting dengan HAM. Dalam HAM dijelaskan secara
filosofis tentang makna kebebasan itu sendiri, yaitu apa yang mendasari
"kebebasan" itu menjadi mungkin. Dalam HAM terkandung apa-apa yang sudah
selayaknya menjadi milik manusia itu sendiri, bahwa kebebasan berfikir,
berkehendak dan berkarya merupakan hak privasi kemanusiaan. Sehingga
dari asumsi di atas kebebasan manusia dapat dijelaskan, kenapa kebebasan
itu penting secara asasi dan perlu mendapatkan tempat bagi pelaksanaan
Hak Asasi Manusia itu yang berupa perlindungan secara intensif bagi
setiap individu untuk melaksanakan hak yang melekat padanya.
Piagam
PBB menetapkan Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948, atau tiga tahun
setelah Perang Dunia II. sebagaimana diketahui pada permulaan abad dua
puluh merupakan abad tragedi kemanusiaan. munculnya dua perang dunia,
dan pada awal abad tersebut dapat disaksikan berbagai kekejaman diktator
dunia dari Mussolini, Hitler, Lenin, ataupun Stalin. puluhan juta orang
menjadi korban keganasan pada masa tersebut, sehingga pengakuan akan
Hak-hak yang melekat pada setiap manusia menjadi begitu penting untuk
segera direalisirkan dalam bentuk Undang-undang yang mengikat kepada
setiap negara untuk mengakuinya serta menjamin kebebasan setiap individu
yang menjadi warga negaranya.
Kebrutalan
atas individu merupakan sebuah kejahatan universal, tidak hanya pada
Deklarasi Universal HAM, melainkan setiap agama mengajarkan cinta kasih
kepada sesama serta mengecam kezholiman dari setiap manusia atas manusia
yang lain. Tetapi ada beberapa yang diberikan catatan tentang istilah
Hak Asasi Manusia itu sendiri, dalam perspektif agama-agama, terutama
agama islam.
Sebagaimana
yang diketahui, Hak Asasi Manusia merupakan suatu yang universal,
tetapi bukan berarti tema tersebut merupakan tema yang netral. tema Hak
Asasi manusia bukan berasal dari ruang hampa historis. perspektif yang
berbeda tersebut diakibatkan oleh perbedaan sosio-historis yang
melatarbelakangi kemunculan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia, sehinga
setiap negara berbeda dalam penerapannya. Kebebasan dalam HAM sering
dimaknai sebagaimana perspektif Humanisme bukan dari sudut pandang
keagamaan. dalam perspektif humanisme dalam memandang manusia adalah
bahwa manusia merupakan pusat dari nilai dan keutamaan, manusia
merupakan suatu eksistensi utama bukan nilai termasuk nilai spiritual.
Doktrin antroposentrisme itu lah yang menjadi pembeda antara perspektif
Barat dan perspektif agama, terutama agama Islam.
Perspektif
Barat melihat sentralitas manusia sebagai yang utama daripada sikap
relijius. sikap relijius hanya dipandang dari salah satu dari perbuatan
manusia diantara perbuatan bebas manusia yang lain. Filosofis yang
dilahirkan adalah bahwa Tuhan tidak berhak menentukan kehendak manusia,
kehendak manusia itu berasal dari dirinya sendiri dan tidak berhak untuk
diberikan batasan. Keutamaan sikap dan nilai mestinya lahir dari
keinginan individu itu sendiri yang melahirkan nilai bagi dirinya
sendiri, bukan nilai yang sudah ditentukan untuk memberikan batasan bagi
segala tingkah laku manusia.
Tingkah
laku manusia dalam perspektif agama, terutama dalam agama monotheisme
(Yahudi, Kristen dan Islam) melihat kehendak manusia berdasarkan pada
nilai baik dan buruk, dimana yang baik dan buruk itu ditentukan oleh
Tuhan melalui jalan pewahyuan. dalam Wahyu tersebut Tuhan menunjukkan
apa yang baik untuk dilakukan dan buruk untuk ditinggalkan. selain itu
Tuhan juga mengajarkan kepada kaumnya untuk mengajar kebaikan yang telah
diajarkan kepada umatnya kepada manusia yang lainnya, serta
mengingatkan atau mencegah dari keburukan. Inilah pandangan keagamaan,
sehingga kebebasan mutlak manusia dalam bertindak dan sebagai pusat
penilaian tidak diberikan tempat.
Tetapi
antara keduanya (Nilai Humanisme dan Agama) mempunyai pandangan yang
sama, bahwa antara keduanya mengecam tindakan semena-mena dalam
memperlakukan orang lain. Keduanya mengajarkan bahwa individu bukanlah
sebagai suatu obyek penindasan dari orang lain untuk kepentingan orang
lain, tetapi dirinya adalah manusia yang layak diberikan kebebasan untuk
hidup secara layak dan meyakini apapun yang diyakininya secara bebas.
Persamaan di atas bukanlah satu-satunya hal yang utama, melainkan ada
suatu hal yang penting dan utama, yaitu asumsi pembentuk antara nilai
agama dan humanisme.
Asumsi nilai dalam pandangan agama adalah;
a.
Tuhan diyakini sebagai suatu hal yang obyektif keberadaanNya, dan
darinya manusi tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai yang diberikan
dariNya kepada UmmatNya untuk dilaksanakan.
b.
Nilai yang diberikan Tuhan tersebut bukan bersifat hasil perenungan dan
tindakan manusia, melainkan ia berada di luar subyektivitas manusia.
Nilai yang ada di luar penghayatan manusia itu sifatnya wujud dan
darinya manusia harus tunduk.
c.
Nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
setiap individu dapat terjamin mampu melaksanakan nilai-nilai Ketuhanan
yang dituntut kepada setiap individu manusia. Sehingga Realisasi nilai
bukan hanya pada pelaksanaan individu, tetapi setiap individu beragama
tertuntut untuk merealisasikan kehendak Tuhan dalam kehidupan sosial.
Nilai
tersebut tidak mungkin dicabut dalam kehidupan agama monotheistik.
Karena karakterisitk khas dari ajaran samawi meletakkan tatanan Tuhan
sebagai Eksistensi Mutlak dan dariNya keluar nilai yang mutlak pula
untuk dilaksanakan dan dipatuhi setiap individu.
Sehingga pertanyaannya, apakah Deklarasi Universal HAM sekarang ini tidak bersifat Universal?
sepertihalnya
diketahui Deklarasi Universal bukan didasarkan pada kesepakatan dari
perwakilan tiap-tiap isme atau bangsa untuk membuat suatu Piagam yang
dimiliki bersama, dan hanya dihadiri dan ditandatangani oleh segelintir
orang dan pada umumnya dihadiri dan disepakati oleh beberapa perwakilan
dari orang Barat. Nilai-nilai ketimuran tidak banyak dibahas dalam
sidang itu, lebih-lebih nilai keagamaan untuk dibahas dan diagendakan
serta darinya dapat dikeluarkan sebuah Undang-undang yang mampu
merangkum semua nilai yang benar-benar disepakati secara bersama. Yang
terjadi adalah hegemoni humanisme dalam perumusan Deklarasi HAM
tersebut, serta mengeleminir nilai keagamaan.
Walaupun
piagam tersebut tidak terakomodasikan dari berbagai tatanan nilai, dan
disepakati berdasarkan pada segolongan pihak di suatu tempat dan masa
tertentu, tetapi nilai yang dituangkan dalam Deklarasi tersebut bersifat
menyeluruh (Universal), mengikat dan berlangsung terus-menerus untuk
dipaksakan kepada semua orang untuk mematuhinya. Sehingga ada suatu
pemaksaan kehendak kepada agama untuk meninggalkan teologisnya, dimana
meletakkan nilai Ketuhanan sebagai suatu hal yang sakral dan darinya
mampu diterapkan dalam kehidupan keberagamaan dalam masyarakat.
Dalam
Pelaksanaannya, memang ternyata agama banyak menjadi penghalang bagi
HAM. agama menjadi pemaksa, mencampuri, mengarahkan serta memberikan
batasan bagi ekspresi tiap individu untuk merealisasikan kebebasannya.
Agama memaksa individu untuk tidak melanggar nilai-nilai yang diterapkan
agama, serta manusia agar bertindak semaunya. penghalang tersebut tidak
mungkin dicabut, apabila dicabut maka akan mematikan agama itu sendiri.
Karena agama merupakan ikatan emosional berdasarkan pada nilai yang
disepakati dan bersifat sakral. sedangkan nilai dalam perspektif HAM
adalah kebebasan manusia untuk lepas dari kungkungan karena watak dasar
manusia itu sendiri seperti itu. Keduanya seakan bergerak dalam dua hal
yang berlainan untuk saling menundukkan.
sehingga
pandangan tersebut teralalu naif untuk dilaksanakan. Tidak saja
pandangan tersebut tidak berkesesuaian dengan agama, tetapi juga belum
tentu relevan untuk dilaksanakan, karena semua bangsa memiliki
karakteristik nilai yang berbeda-beda dan sifatnya mengikat bagi
individu bagi lokalitas dan tidak mungkin untuk dipaksakan untuk
melepaskannya. Dalam budaya Jawa, banyak istilah yang merujuk pada toto kromo, gayub rukun, tepo slira, urip mulyo dsb.
istilah-istilah tersebut banyak mengandaikan tentang nilai-nilai yang
utama dimiliki individu yang bertanggungjawab dan nilai itu berdiri di
luar manusia, dan manusia itu diharapkan memiliki kualitas nilai
tersebut dan mencegah dari perbuatan-perbuatan terlarang yang dapat
merugikan nilai-nilai masyarakat.
Nilai-nilai
ini juga tidak terakomodir dalam perumusan pasal Deklarasi HAM.
sehingga pemaksaan nilai terhadap individu ditafsirkan sebagai
penghalang bagi kemanusiaan sehingga ia dinilai sebagai suatu hal yang
buruk. Perkawinan sejenis misalnya, dijamin oleh HAM, tetapi perkawinan
sejenis tidak mungkin dibiarkan dalam masyarakat Jawa maupun dalam
ajaran agama Islam, karena keduanya (Islam maupun nilai Jawa) sangat
menentang perkawinan antar jenis, dan yang paling penting menanamkan
nilai keutamaan terhadap individu dalam masyarakat.
Suatu
contoh kasus tentang benturan Deklarasi HAM dengan Agama (Islam)
terungkap misalnya saja dalam Kasus Lia Aminuddin. Lia Aminuddin
mendakwakan diri menjadi Ruh Kudus, bahkan secara terang-terangan pula
berkirim kepada Bagir Manan, Ketua MA, "Akulah Malaikat Jibril sendiri
yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan
Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku". Selain
mendakwakan diri sebagai Ruh Kudus, juga mendakwakan anaknya sebagai
inkarnasi dari Nabi Muhammad, dan juga mendakwakan sebagai Isa (Yesus).
Menurut hukum agama, maka kepercayaan seperti itu semestinya ditindak
dengan tegas, tetapi sebaliknya dalam paham humanisme hal itu merupakan
wujud kebebasan manusia.
Tidak
hanya pada kasus di atas, kasus perkawinan sejenis
(homoseksual/lesbian), pornografi/pornoaksi, aliran kepercayaan, dsb,
sering berbenturan dengan sikap ulama (Islam). hal ini dikarenakan cara
pandang yang berbeda, cara pandang itulah yang menentukan pengambilan
suatu keputusan terhadap suatu fakta. Dan naif apabila dikatakan memaksa
atau tidak memaksa, karena apa yang dilakukan kalangan liberalisme juga
sama dengan memaksa kaum beragama untuk berpaham humanisme-liberal.
Bahkan
banyak kaum liberalisme menuntut pembubaran MUI (Majlis Ulama
Indonesia). hal yang perlu diketahui, tugas ulama adalah memberikan
penerangan, menentukan sikap, memimpin, serta menjaga agamanya, dan hal
itulah yang coba dilakukan oleh MUI. Apabila MUI dituntut untuk
membubarkan diri, sama halnya dengan menuntut peniadaan Ulama. Karena
"melarang-larang", menuntut, memberikan fatwa dan keputusan merupakan
salah satu tugas ulama, dan hal itu tidak mungkin untuk dicegah.
Fenomena worldview intrusion merupakan suatu hal yang umum pada masyarakat muslim masa kontemporer ini. worldview intrusion ditandai dengan kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). seorang muslim secara simbol bangga dengan tradisi berpeci maupun bersarung ketika mereka melakukan sholat, tetapi mereka juga bangga akan corak berfikirnya yang mengambil corak dialektika-materialisme sebagai corak pandangannya. Hartono Jaiz, dalam kritikannya terhadap IAIN, menyebutnya sebagai suatu "Pemurtadan", atau sudah berganti agama, dari agama Islam menjadi agama Humanisme.
Buku "Ada Pemurtadan di IAIN", tidak dapat ditafsirkan sebagai maraknya mahasiswa berganti agama, melainkan perubahan paradigma berfikir sebagian mahasiswa yang disebabkan oleh munculnya fenomena kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity) atau disebuet sebagai worldview confusion. Sebagai kritik terhadap buku tersebut, sebenarnya bukan salah institusi IAIN, melainkan kecenderungan partisipasi mahasiswa dalam kelompok studi, atau group sosial (UKM atau organisasi mahasiswa) dimana mainstream berfikirnya liberal. Sehingga nilai humanisme sebagai "reference group" dalam group sosial tersebut, bukan karena kurikulum yang sengaja mengarahkan seseorang untuk menjadi liberal. (Tentang Sebab Liberalisme sudah kami ulas dalam tulisan kami terdahulu).
Kecenderungan terjadinya confusion tersebut adalah tertariknya para pemuda, kaum intelektual dan generasi muslim terhadap pemikir Barat, serta berusaha untuk merobohkan tatanan keagamaan melalui wacana-wacana yang didengungkan. Wacana terhadap Barat terutama pada tema-tema kebebasan mutlak manusia tanpa ada unsur campur tangan agama, dan darinya memberikan kritik terhadap pandangan keagamaannya yang menurut mereka ketinggalan zaman, kolot, kuno, jumud, dsb.
Perlu diketahui agama, terutama bukan hanya ajaran, tetapi ia merupakan cara pandang, kumpulan nilai-nilai, sebuah bentuk sakralitas, acuan atau ikatan emosional dalam satu kelompok (Ummah) dan membutuhkan institusi untuk menopangnya, sehingga kebebasan semestinya diberikan batas yaitu sejauh mana hal itu tidak bertentangan dengan agama. ekspresi dan kreativitas seseorang tetap dihargai apalagi hal itu berasal dari spirit keagamaannya. Novel Karya Salman Rushdi merupakan hal yang wajar untuk tidak diakui karena menggambarkan agama (Islam) yang tidak senonoh dan tidak beradab. tetapi oleh kalangan liberalis, hal itu dikatakan sbeagai bentuk ekspresi seseorang yang dituangkan dalam bentuk seni sastra.
Begitu juga islam tidak melarang untuk mengkritik seseorang bahkan ulama sekalipun apabila didapati ulama itu membuat kebijakan yang kurang efisien, ataupun ulama itu berbuat salah. yang tidak boleh adalah mengumbar-umbarkan kritik keagamaan yang isinya meragukan agama sebagai suatu pandangan hidup yang valid. Tidak hanya berlaku pada islam, tetapi juga pada semua agama, tidak terkecuali pada paham humanisme itu sendiri. Sehingga jarang sekali seorang pemikir Islam liberal mengkritik paham liberalisme atau paham humanisme itu sendiri. Yang terjadi adalah sebaliknya, mengkritik-kritik dasar keagamaan, yang menjadi pedoman pokok dan bersifat sakral.
Itulah hubungan antara Kebebasan dan Islam. Kebebasan tetap diberikan tempat, tetapi tetap mendasarkan diri pada pandangan hidupnya sebagai seorang muslim, begitu juga dalam tradisi islam juga telah terbentuk tradisi kritis terhadap para umara'. Bukan tradisi kritik vulgar terhadap agama yang tidak membawa kemaslahatan apa-apa kecuali membawa kehancuran sendi-sendi agama itu sendiri.
(Daripada mengakhiri kata Wallahu A'lam tetapi banyak disalahartikan, maka penulis tidak mengakhirinya dengan kata tersebut, harap maklum)
Fenomena worldview intrusion merupakan suatu hal yang umum pada masyarakat muslim masa kontemporer ini. worldview intrusion ditandai dengan kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). seorang muslim secara simbol bangga dengan tradisi berpeci maupun bersarung ketika mereka melakukan sholat, tetapi mereka juga bangga akan corak berfikirnya yang mengambil corak dialektika-materialisme sebagai corak pandangannya. Hartono Jaiz, dalam kritikannya terhadap IAIN, menyebutnya sebagai suatu "Pemurtadan", atau sudah berganti agama, dari agama Islam menjadi agama Humanisme.
Buku "Ada Pemurtadan di IAIN", tidak dapat ditafsirkan sebagai maraknya mahasiswa berganti agama, melainkan perubahan paradigma berfikir sebagian mahasiswa yang disebabkan oleh munculnya fenomena kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity) atau disebuet sebagai worldview confusion. Sebagai kritik terhadap buku tersebut, sebenarnya bukan salah institusi IAIN, melainkan kecenderungan partisipasi mahasiswa dalam kelompok studi, atau group sosial (UKM atau organisasi mahasiswa) dimana mainstream berfikirnya liberal. Sehingga nilai humanisme sebagai "reference group" dalam group sosial tersebut, bukan karena kurikulum yang sengaja mengarahkan seseorang untuk menjadi liberal. (Tentang Sebab Liberalisme sudah kami ulas dalam tulisan kami terdahulu).
Kecenderungan terjadinya confusion tersebut adalah tertariknya para pemuda, kaum intelektual dan generasi muslim terhadap pemikir Barat, serta berusaha untuk merobohkan tatanan keagamaan melalui wacana-wacana yang didengungkan. Wacana terhadap Barat terutama pada tema-tema kebebasan mutlak manusia tanpa ada unsur campur tangan agama, dan darinya memberikan kritik terhadap pandangan keagamaannya yang menurut mereka ketinggalan zaman, kolot, kuno, jumud, dsb.
Perlu diketahui agama, terutama bukan hanya ajaran, tetapi ia merupakan cara pandang, kumpulan nilai-nilai, sebuah bentuk sakralitas, acuan atau ikatan emosional dalam satu kelompok (Ummah) dan membutuhkan institusi untuk menopangnya, sehingga kebebasan semestinya diberikan batas yaitu sejauh mana hal itu tidak bertentangan dengan agama. ekspresi dan kreativitas seseorang tetap dihargai apalagi hal itu berasal dari spirit keagamaannya. Novel Karya Salman Rushdi merupakan hal yang wajar untuk tidak diakui karena menggambarkan agama (Islam) yang tidak senonoh dan tidak beradab. tetapi oleh kalangan liberalis, hal itu dikatakan sbeagai bentuk ekspresi seseorang yang dituangkan dalam bentuk seni sastra.
Begitu juga islam tidak melarang untuk mengkritik seseorang bahkan ulama sekalipun apabila didapati ulama itu membuat kebijakan yang kurang efisien, ataupun ulama itu berbuat salah. yang tidak boleh adalah mengumbar-umbarkan kritik keagamaan yang isinya meragukan agama sebagai suatu pandangan hidup yang valid. Tidak hanya berlaku pada islam, tetapi juga pada semua agama, tidak terkecuali pada paham humanisme itu sendiri. Sehingga jarang sekali seorang pemikir Islam liberal mengkritik paham liberalisme atau paham humanisme itu sendiri. Yang terjadi adalah sebaliknya, mengkritik-kritik dasar keagamaan, yang menjadi pedoman pokok dan bersifat sakral.
Itulah hubungan antara Kebebasan dan Islam. Kebebasan tetap diberikan tempat, tetapi tetap mendasarkan diri pada pandangan hidupnya sebagai seorang muslim, begitu juga dalam tradisi islam juga telah terbentuk tradisi kritis terhadap para umara'. Bukan tradisi kritik vulgar terhadap agama yang tidak membawa kemaslahatan apa-apa kecuali membawa kehancuran sendi-sendi agama itu sendiri.
(Daripada mengakhiri kata Wallahu A'lam tetapi banyak disalahartikan, maka penulis tidak mengakhirinya dengan kata tersebut, harap maklum)