PENYERGAPAN terduga terorisme yang berakhir dengan eksekusi mati bukanlah kasus pertama. Hampir di setiap
penyergapan, selalu ada nyawa terduga melayang. Sehabis para terduga tewas,
kemudian diketemukan berbagai macam benda yang disebut barangbukti terorisme,
yang tidak berkembang dari masa-ke masa. Pada kasus terakhir di Ciputat (1/1/2014), yang
paling memprihatinkan barangkali selain soal pembantaian para terduga, juga soal
penyitaan Kitab Suci Al Qur’an oleh Densus 88. Pembantaiannya sendiri sudah
melanggar HAM, apalagi penyitaan Kitab Suci. Lengkap sudah masyarakat
menyaksikan tindakan sadis dan biadab aparat yang berkedok penegakan hukum
pemberantasan terorisme.
Pembantaian atau Penegakan hukum?
Pertama, dilihat dari
proses peristiwanya, kegiatan aparat di Ciputat bukanlah kegiatan penegakan
hukum, melainkan sebagai shock teraphy
semata. Bentuk shock teraphy ini,
lebih cenderung kepada pembantaian brutal nan sadis, ketimbang penegakan hukum
seperti yang diatur dalam Undang-undang. Terutama bagi kelompok yang masih
memiliki keinginan berjihad, maupun berkeinginan melawan keinginan Pemerintah
dalam hal ini keinginan Pemerintah mengikuti himbauan Amerika Serikat dalam War on Terror (perang melawan teror),
maka shock teraphy tersebut
sepertinya memang bagian dari program deradikalisai untuk membantu program pemberantasan
terorisme global. Sayangnya, yang mengalami kecemasan atas ‘drama’ pembantaian
di Ciputat, tentu bukan hanya kelompok garis keras, namun juga semua yang
mengetahui peristiwa sadis tersebut. Kalau maunya disebut sebagai penegakan
hukum, maka proses penyerbuan brutal lebih dari 9 jam yang berakhir dengan eksekusi
mati, bahkan dilakukan bertepatan dengan pergantian tahun ini, jelas bukan
kegiatan yang efektif.
Kedua, penegakan hukum
jelas tidak dibenarkan jika dilakukan dengan melawan hukum. Pembantaian di
Ciputat dan juga pembantaian-pembantaian pada kegiatan pemberantasan terorisme
sebelumnya, sering dilakukan kepada pada orang yang masih terduga, yang proses
peristiwanya tidak akuntabel. Selain dilakukan tertutup, bahkan dipublikasikan hanya
melalui pemberitahuan sepihak dari aparat kepolisian. Informasi sepihak, dalam
dunia jurnalisme jelas tidak memenuhi syarat untuk disampaikan kepada
masyarakat luas. Meski begitu, karena fakta peristiwanya ada, maka berita ‘penegakan
hukum’ tersebut tetap harus disampaikan kepada masyarakat meski kesaksian
terhadap transparansi proses kejadiannya tergolong minim.
Ketiga, dengan adanya
peristiwa Ciputat, maka mau tidak mau kawasan Ciputat dan sekitarnya, dimana di
kawasan itu dikenal sebagai kawasan kampus religius terkenal seperti dengan
adanya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), STIE Ahmad Dahlan, Yayasan
Lentera Hati Pusat Studi Al Qur’an, dan lain-lain, kini menjadi kawasan yang
akan sering disebut sebagai kawasan ‘teroris’. Ada apa ini?
Keempat, dengan
pembantaian yang dilakukan di Ciputat, maka akan memberi pesan kepada masyarakat
luas bahwa kawasan Ciputat yang banyak kampus religius itu, terbukti menjadi tempat
subur bagi para terduga terorisme. Karena sebelumnya, di kawasan yang sama juga
pernah dilakukan eksekusi mati pada Saifudin Zuhri dan kawan-kawan, serta
adanya kasus perampokan toko emas yang diduga dilakukan oleh terduga terorisme.
Alhasil, banyaknya istilah terduga, menyebabkan keraguan apakah seluruh
peristiwa terorisme di Ciputat selama ini adalah benar-benar kegiatan terorisme
yang nyata?
Kelima, jika memang niatnya penegakan hukum dengan meringkus
para terduga, Densus pun sudah pasti bisa melakukannya tanpa pembantaian.
Peralatan keamanan pertahanan diri yang dimiliki personal Densus tidak ada yang
bisa menandingi di seluruh dunia. Sangat canggih dan lengkap. Mulai dari baju
anti peluru, helm, sampai decker
(peindung siku). Alat deteksi dini berupa robot pengintai, alat penyadap
komunikasi canggih di Cyber Crime
Investigations Satellite Office (CCISO) pemberian Australia, hingga gas air
mata. Dengan banyaknya peralatan deteksi dini serta alat pengintai serta
pelumpuh dahsyat, dipastikan tidak ada kecolongan dari pihak Densus. Karena
semua bisa diantisipasi dengan baik. Dengan segala kelebihannya, Densus jelas
memiliki peralatan yang tidak dimiliki oleh teroris. Oleh karena itu, alasan “adanya
perlawanan dan bakutembak terduga” tentu tidak akan lagi terdengar karena semua
aktifitas para terduga sudah bisa dideteksi sebelum penyergapan. Kalau hanya
bisa membantai, tentu tidak perlu alat-alat itu. Densus cukup membawa senjata
serbu, serta bom pelumat. Yang tidak pernah saya dengar adalah, keinginan
Densus melumpuhkan terduga menggunakan teknologi sederhana misalnya gas ber-bius.
Sederhana sekali.
Kenapa Al Qur’an Disita?
Dari rilis yang dikeluarkan Mabes
Polri, ada yang menarik untuk dicermati. Ada 31 item barangbukti, dan diantara
semua barangbukti, terdapat banyak item yang tidak jelas keterkaitan
barangbukti dengan para terduga yang sudah tewas mengenaskan. Dari sekian
barangbukti yang tidak jelas keterkaitannya dengan terorisme, salahsatu adalah
adanya 4 (empat) Al Qur’an yang turut disita oleh Densus 88. Penyitaan Al Qur’an
ini benar-benar membuat miris, karena bisa berakibat kecurigaan siapa yang
berada di balik topeng pasukan burung hantu ini.
Parahnya, penyitaan Al Qur’an
oleh Densus 88, bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, di Pondok
Pesantren Umar Bin Khatab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat, Densus juga menyita
1 (satu) peti berisi penuh Al Qur’an dalam kasus dugaan terorisme. Semua Al Qur’an
yang disita Densus ini jelas untuk
diseret ke Pengadilan, dan mungkin untuk selanjutnya, Al Qur’an itu akan
dimusnahkan atau disimpan di gudang barangbukti terorisme, dijadikan satu
dengan barang-barang kotor lainnya. Jangan lagi ditanya, bagaimana cara dan
proses penyitaan Al Qur’an ini oleh aparat.
Penyitaan Kitab Suci jelas
pelanggaran berat, baik secara hukum maupun sosial. Tidak ada kaitan sedikitpun
antara Al Qur’an dan terorisme. Kalaupun, sekali lagi kalaupun ada penyalahgunaan
ayat Qur’an oleh seorang terduga pada masa lalu, tentu bukan dijawab dengan
menyita Al Qur’an-nya. Langkah ini sudah pasti langkah biadab, terkutuk, dan
bahkan tidak pantas dilakukan oleh manusia, apapun itu jabatannya. Parahnya, penyitaan
Al Qur’an tersebut dilakukan di Ciputat dan di tempat lain pada proses
penggeledahan di kontrakan para terduga. Apakah dengan demikian Densus dan Polri tidak
sadar bahwa tindakannya ini sebagai bentuk penghinaan terbesarnya kepada
mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia?
Saya jadi ingat perkataan
petinggi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Petrus Golose saat
peluncuran bukunya Deradikalisasi
Terorisme di Universitas Indonesia (UI) Agustus 2009 silam. Petrus
mengatakan, bahwa kunci kesuksesan deradikalisasi ada 3 (tiga). Pertama, humanis. Dimana pemberantasan
terorisme harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, soul approach.
Pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan komunikasi yang mendidik, bukan
dengan kekerasan dan intimidasi. Ketiga,
menyentuh akar rumput.
Program deradikalisi dan
pemberantasan terorisme harus menyentuh pada semua orang yang ter-ekspose paham
radikal. Dari kelimat Petrus, jelas sekali tujuan deradikalisasi dan
pemberantasan terorisme bukan membentuk kekerasan baru maupun dengan menghina
agama tertentu. Juga harus menghormati HAM, serta disertai komunikasi yang
baik. Sayangnya, yang terjadi dalam pemberantasan terorisme saat ini, bahkan
sejak awal tidaklah bisa seperti yang tertulis di dalam buku Petrus. Justru
terjadi kebalikannya: keras, sadis, dan hina. Jelas, ini ada something wrong.
Bahkan, kalau boleh saya tulis, saking
banyaknya something wrong dan
kejanggalannya, upaya pemberantasan terorisme justru lebih dekat pada upaya
labelisasi terorisme ketimbang pemberantasannya. Banyak orang-orang yang tidak
tahu menahu terorisme, tiba-tiba disergap, dianiaya, disiksa, dan sebagian
dijebloskan ke penjara hanya karena label terduga tersebut. Baik yang terduga
maupun yang ‘terbukti’ di pengadilan, kini
telah menimbulkan label-label baru tidak hanya kepada orang-orang terduga tersebut
sebagai teroris. Sekali lagi, yang mendapatkan label teroris bukan hanya
terduganya, tetapi juga kepada keluarganya, tetangganya, bahkan kawasan
terjadinya pembantaian seperti Ciputat.
Fenomena tersebut sesuai dengan
apa yang dikatakan Clarence Schrag (1971) bahwa seseorang menjadi penjahat
bukan karena dia melanggar Undang-undang, melainkan karena dia ditetapkan demikan itu oleh penguasa. Wallahua’lam bishawab. #