Jawaban Atas Kasus Guntur Bumi
Abahe Ramona
05.37
0
Pertama mesti harus disampaikan, penulis bukan ulama yang tau hukum fiqh. Kedua, Penulis menghormati dan selalu berittiba' para ulama', & ketiga, penulis Siap melakukan klarifikasi jika suatu hal yang disampaikan ulama' tidak sesuai dengan ketentuan agama dan akal sehat.
Memang ada tradisi yang terpelihara sejak lama, tentang penyembuhan lewat sarana doa atau mempraktekkan doa-doa. Berbeda dengan masa lampau, dimana pengobatan jenis ini tidak dikenai biaya pasti, kecuali kerelaan orang yang mau berobat, pada masa kini, dikapitalisasi. Ditentukan berapa besarnya tarif pengobatan, bayar iklan marketing, beserta tenaga-tenaga penyokongnya (asisten, sekretaris, dst). Dari tradisi religiousitas mulia, menjadi 'lahan bisnis' baru. Tenaga pengobatannya pun tak tanggung-tanggung mencatut gelar 'KH', 'Ust', dll.
Perlu diketahui, dalam masyarakat Islam, gelar 'KH', 'Ust', bukan lah gelar yang ditetapkan secara resmi, atau ditahbiskan, melainkan gelar yang disematkan oleh beberapa atau banyak orang kepada dirinya, sesuai dengan kapabilitas keagamaan yang dipercaya dimilikinya. berbeda dengan gelar 'Pdt', 'Pastur', 'Bikhu', dll, tidak semua orang dapat dijuluki dengan gelar demikian. Saya sendiri pernah dipanggil 'ustadz', 'pak kiai', 'gus', dll, Jadi gelar-gelar itu sangat mudah didapatkan secara gratis. Tetapi jika gelar ini dipake secara sembarangan, maka gelar itu semakin tidak ada harganya. Pada masa lampau gelar ini untuk menunjukkan posisi seseorang. Gelar ustadz, adalah gelar pengajar agama, baik di pesantren, madrasah, atau pengisi ceramah di masjid-masjid. Gelar 'Kiai' ditujukan kepada orang-orang yang punya kharisma keagamaan yang relatif kuat dan punya pengaruh di lingkungannya berada.Sedangkan dukun, dipanggil dengan sebutan 'Ki' atau 'mBah'.
Dulu kita sangat mudah membedakan mana dukun dan mana kiai. Kiai itu selalu meminta seseorang melakukan amaliyah, baik berupa dzikir, sha, sholawat sampai amal kebajikan, sebagai pintu masuk datangnya rahmat dan maghfiroh Alloh Swt, dengan sumbangan seikhlasnya. Bisa berupa rokok, beras, bahkan sekedar bertamu bersambang secara ramah tamah (silaturahmi) dengan kiai yang bersangkutan. Sedangkan dukun, meminta perilaku-perilaku aneh, memberi mantera-mantera amalan, dengan meminta imbalan yang seringkali berwujud uang.
Nah, sekarang ituh beberapa orang, dengan bermodalkan 'peci' dan 'gamis' menambah gelar 'KH' atau Ust' di depannya, mengiklankan diri dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan doa, dengan imbalan uang. jadi bukan masalah syirik atau bukannya, melainkan pada masalah 'cara' yang ditempuh oleh mereka itu pantas atau tidak. tidak pantasnya lagi, meminta mahar berlipat, bagi orang yang tidak mampu, sampai puluhan juta, hingga merugikan si korban. Apalagi dalam beberapa ayat al Qur'an disebutkan tentang betapa buruknya gambaran orang yang suka memperdagangkan Ayat (dan doa).
Di desa-desa untungnya masih ditemukan praktek pengobatan tradisional yang jauh dari marketisasi jenis ini. Kiai yang dipercaya ijabah doanya didatangi orang banyak secara sukarela. Para kiai itu tidak banyak meminta banyak, apalagi tindakan nyleneh dan memberatkan. Mereka takkan meminta mengkhatamkan satu al Qur'an penuh dari tengah malam sampe sebelum subuh (sebagaimana diminta oleh seorang yng dikenal dengan Ust. GB). Kiai yang kebetulan pernah aku temui, hanya meminta orang yang dagangannya gak pernah laris, cukup rajin berjama'ah subuh saja. Karena pagi hari mendatangkan pintu rezeki, bagi siapa saja memulai aktivitasnya dan berdzikir didalamnya. Sedangkan orang yang datang, cukup memberikan sebungkus rokok beserta beberapa makanan sekedarny, untuk disantap. Kebersahajaan, dipadu dengan kebijakan lokal yang kental ini lah yang terancam dengan budaya kaapitalis yang dibungkus dengan simbol-simbol keagamaan.
Wallahu A'lam Bish Showwab