Select Menu
Select Menu

Favourite

Jawa Timur

Wisata

Donasi Untuk Palestina

Culture

Transportasi Tradisional

Rumah Adat

Bali

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » » Pencitraankah Jokowi? (Dasar Memahami Makna "Pencitraan")


Abahe Ramona 04.24 0



Pencitraan selalu berhubungan dengan gambaran ideal tentang sesuatu/seseorang. Politik adalah proses kompleks, sehiingga sulit sebenarnya untuk menentukan gambaran politisi ideal yang bagaimanakah yang cocok sebagai pemimpin. ( karena proses politik proses saling menjegal, pendukung-oposisi, deal-deal belakang layar, permainan anggaran, strategi saling menjatuhkan, dsb). Kecuali, gambaran politisi sebagaimana kita idealkan waktu remaja dulu, dimana waktu itu pikiran kita masih sederhana dalam berfikir politis.

Waktu remaja dulu, aku berfikir jika kelak akan menjadi Pemimpin, aku takkan menggusur orang semau-maunya, sebagaimana lazimnya pemimpin yang aku lihat di TV. Di TV digambarkann, rakyat miskin tinggal di rumah semi permanen, rumah mereka harus tergusur. Miris !. Aku akan jadi pemimpin anti penggusuran. Selain berfikir “anti penggusuran”, aku akan bangun kota kesayanganku (Solo), seindah-indahnya. Kalo perlu semua Sungai di Solo, yang penuh limbah industri, aku sulap bim salabim jadi bening, sebening kolam renang.

Ketika memasuki jenjang mahasiswa, aku udah berfikir agak “maju”. Aku akan jadi seorang pejabat yang bersih dari korupsi. Aku akan jadi pemimpin yang disegani, pers akan meliputku sebagai pemimpin handal, amanah, anti korupsi, dan benar-benar berkomitmen kepada rakyat. Aku akan berkeliling menemui rakyat miskin, dan mendengarkan aspirasi mereka, lalu mewujudkan semua impian mereka. Mereka mau apa, bim sala bim, uang dari pemerintah akan langsung cair untuk membantu mereka. Ketika aku mati di saat menjadi pemimpin, maka semua orang akan menghadiri pemakamanku dan menangisi kepergianku.

Selepas kuliah, mulailah terjadi fase berfikir realistis. Aku mulai berfikir takkan mungkin menjadi pemimpin, jika aku tak punya “relasi”. Untuk meningkatka relasiku, aku harus pintar komunikasi, jadi daya tarik orang, dan pintar berorganisasi, tapi semuanya tak ku miliki. Semakin dewasa, semakin detail lah apa-apa yang hanya sedikit yang kuketahui di masa lampau. Bahwa, dalam proses politik apapun, strategy loby itu sgt penting. Untuk jadi karyawan di swasta pun, harus pintar2 menjawab, karena jawaban kita dalam wawancara itu bagian dari loby itu untuk bekerja di kantor bersangkutan. Apalagi loby-loby dalam politik. Tak mungkin lah, Jokowi tiba2 njedul mencalonkan diri jadi Gubernur DKI. Awalnya kan, Mobil Esemka dulu. Dulu waktu kemunculan Mobil Esemka, secara tak sengaja ku temukan komentar di fb “Modal buat nyagub di DKI”, kirain orang itu omong asal, tapi beberapa bulan kemudian ternyata  kok bener ya? :D , itulah deal-deal di belakang yang tak mugkin kita ketahui.

Politik itu bukan lah Sepakbola di Tv2, semua strategi, permainan, tackling, diving, dll, dapat kita saksikan di depan mata kita langsung. Berita politik di media yang sampai di kepala kita hanya permukaan gunung es, dimana bagian bawah yang tak kita ketahui justru lebih menentukan daripada sekedar apa yang kita lihat di permukaan.

 Semakin dewasa semakin sadar juga, bahwa segala sesuatu PASTI butuh dana. Jadi, anggapan bahwa dulu untuk membangun sungai2 jorok di Solo, bim salabim jadi bersih,  sirna sudah. Tak mungkin bagiku untuk membersihkan waduk ria-rio,, eiitt salah, untuk membersihkan sungai Jenes-Solo, tanpa anggaran. Juga pemikiran bahwa menggusur PKL atau rumah semi permanen, takkan mudah dicegah. Aku juga sadar, bahwa untuk membangun ini itu, semuanya sudah direncanakan dalam rencana pembangunan, agar alokasi keuangan daerah dapat teralokasikan secara sistematis dan tepat sasaran. Tak mungkin lagi berfikir, bahwa pemerintah itu kayak Doraemon, “aku ingin begini, aku ingin begitu, semua dikabulkan dnegan kantong ajaib” hehe. :)

Pemimpin itu bukan lah Person, tapi Tim. Untuk jadi pemimpin, harus berjuang dulu, lewat lobi-lobi, dari lobi tingkat partai, sampai lobi ke orang-orang berpengaruh (dari preman sampai pengusaha) untuk menyokong pencalonan kita sebagai kepala daerah. Dan, yang namanya loby, sudah tentu kita tak cuman modal mulut doang. Semuanya harus ada deal-deal antara kita dan mereka. Tak ada Makan Siang Gratis. Seorang calon pemimpin, SIAPAPUN JUGA, butuh pencitraan. Lihat saja photo2 caleg di pinggir-pinggir jalan, hampir semuanya pasti eksyen tersenyum, kagak ada yang eksyenn judes. Pencitraan itu dapat dibangun lewat sarana iklan atau dengan sarana berita.

Ada kalanya seorang pemimpin yang buta media, dengan latah melakukan penggusuran. Maka, yang terjadi adalah keesokann harinya Judul Headline Surat Kabar Lokal akan seperti ini “Rakyat Kampung Duku akan Perjuangkan Hak Hidup mereka Melawan Penggusuran Pemkot“. Coba kalo si pemimpin dekat ama Media, Judul beritanya akan jadi lain, “Walikota berencana lakukan Normalisasi Pemukiman Kumuh“. Judul, settingan tulisan di Surat Kabar, dan pemilahan sumber, pasti sangat berpengaruh pada opini yang terbentuk ke pemirsa. Di musim banjir, judul berita “Gubernur persiapkan 2000 sumur resapan untuk kurangi banjir“, jelas berbeda pengarahannya denga judul bombastis “Gubernur tanggulangi banjir DKI dengan hanya bangun 2000 sumur dengan anggaran 150 M“.

cara utuk menentukan apakah sebuah media itu melakukan pencitraan, dengan mengukur, apakah dengan memberitakan seseorang akan menimbulkann reaksi emosional (simpati/antipati) kepada yang bersangkutan atau tidak. Jika terjadi simpati, maka telah terjadi pencitraan positif, sebaliknya, timbul reaksi antipati, maka telah terjadi pencitraan negatif. Olga Syahputra, sebagai artis yang punya gaya hidup beda, karena memposisikan diri sebagai host di suatu acara Reality Show, ia harus mengunjungi pemukimann kumuh, menangis bersama mereka, maka pemirsa akan mudah mengambil simpati ke si Olga. Tapi sebaliknya, jika yang ditayangkan adalah gaya glamour hidup si Olga, maka yang muncul adalah sikap antipati. Manusia itu bukan lah malaikat yang selalu bertindak benar. Karena manusia, tempat berkumpulnya segala kebaikan sekaligus kesalahan.

Coba bayangkan, peran si Olga Syahputra diganti denga seorang Gubernur. Gubernur, yang terobosan ke pemukiman2 kumuh sebagaimana dilakukan Olga. Menengok mereka, memberikan sejumlah uang untuk orang yang meminta (uang Pemda tentunya), lalu mendatangi danau yang kumuh disulap, jadi bening ning, maka akan muncul reaksi emosional yang lebih besar daripada sekedar si Olga. Apalagi komentar ceplas-ceplos dan gaya nyantai si gubernur  menghadapi si wartawan. jadi blusukan itu bisa dipandang sebagai bagian rasa merakyatnya seorang pemimpin. Tapi tak bisa disalahkan pula, jika ada yang beranggapan tak lebih dari program “Reality Show” yag dikemas dengan cara yang berbeda, dengan dana tak dari produser, tapi dari APBD DKI.

Pencitraan itu akan mudah merasuk ke rakyat awam, dimana gambaran tentang pemimpin yang ideal, sebagaimana gambaran pemimpin yang ideal selagi kita masih duduk di bangku SMU. Tak berfikir tentag tarik menarik kepentingan, tak ada deal-deal, Media menulis apa adanya sesuai dengan kualitas kepemimpinan kita, dst. Yang perlu kita ingat, dulu Pak Harto langgeng memimpin Indonesia karena apa? karena ia telah dicitrakan sebagai pemimpin sukses dalam melakukan pembangunan di Indonesia, lengkap dengan penghargaan-penghargaan, baik dari luar negeri, apalagi dari dalam negeri. Ketika itu, melihat wajah Pak Harto saja, cintanya sudah minta ampun. Tapi, pencitraan itu tiba2 berbalik di tahun 98, dari Pak Harto yang digambarkan sebagai bak malaikat, menjadi Pak Harto yang bak iblis.
Sekian, semoga bermanfaat.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama