Muru'ah Sebagai Hukum Islam "Keenam" dalam Ilmu Fiqh
Abahe Ramona
02.54
0
Ilmu Agama (termasuk didalamnya fiqh) tidak seperti ilmu zhahir, didalamnya termuat adab berilmu, penguasaan keilmuan, kesholehan, pengalaman keberagamaan, otoritas kefaqihan dan kedudukan seseorang itu dalam komunitas ummat Islam. Tidak sembarangan seseorang dalam melakukan "wacana dalam keilmuan agama", ia harus tertuntut untuk membersihkan diri, meminta izin kepada otoritas yang lebih tinggi, dan dilakukan musyawarah dalam pengambilan suatu bentuk istinbath untuk menentukan hukum Islam.
Jadi tulisan ini tidak untuk menerjang norma-norma di atas, melainkan sebagai catatan pribadi saya. Selain itu, Sebenarnya konsep "muruah" bukan hal yang baru, banyak para ulama' yang mempertimbangkan soal ini dalam menentukan aturan nilai-nilai yang berlaku. Kitab "Ta'lim wa Muta'lim" bisa disebut sebagai kitab muruah atau kitab tentang adab sopan santun antara seseorang dengan seseorang yang lain, terutama antara guru dan murid.
Muruah mungkin lebih dekat maknanya dengan adab kesopanan berdasarkan pada tradisi dimana seseorang itu bermukim, sehingga konteks sosial/masyarakat lebih menentukan daripada pengambilan status hukum yang diasalkan dari al Qur'an dan Hadits. Tetapi perlu diingat, bahwa konsep muru;ah itu diambilkan "semangatnya" dalam kedua sumber hukum tersebut. Hadits Nabi "wa maa bu'itstu illa liutammima makarimal akhlaq" (dan tidak lah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq), ataupun banyak sekali hadits yang menceritakan tentang adab dan tingkah laku seseornag yang menunjukkan bagaimana penghormatan seorang muslim terhadap nilai-nilai tradisi setempat.
Kita bisa melihat permisalannya dalam adat kebiasaan orang Jawa. seorang muslim bersuku Jawa tidak dapat dikatakan berakhlaq seandainya muslim jawa itu berbicara dnegan orang yang lebih tua tanpa menggunakan bahasa kromo inggil/ halus. Ia tidak dapat menyatakan bahwa "perintah larangan untuk bergaya bahasa berbeda dengan orang tua" tidak ditemukan dalam al Qur'an maupun as Sunnah. Bahkan Nabi pun tidak pernah menggunakan "bahasa arab kromo inggil" untuk berbicara dengan orang lain, karena bahasa arab sendiri yang ada hanya bahasa arab "kitabiyah" dan "syuqiyah". Jadi tidak adanya perintah untuk menggunakan bahasa kromo inggil, bukan berarti hukum menggunakan bahasa inggil itu menjadi mubah.
Beberapa metode Ushul fiqh yang selama ini digunakan seringkali mengacu pada urut-urutan sebagai berikut ini; al Qur'an - As Sunnah - Ijma' - Qiyash dst. Bahkan sebagian ulama' yang hanya merujuk pada dua sumber hukum awal, yaitu al Qur'an dan As Sunnah berdasarkan hadits Nabi "taraktu fiikum amraini ... ilkh", terutama pada mahdzab Wahabi ataupun salafi. Padahal banyak sekali permasalahan yang tidak dapat dirujuk langsung secara tekstual melalui dua nash itu. Bahkan ada suatu perkataan ulama' Ushul yang banyak dijadikan pegangan pokok, yaitu: "Segala perbuatan/tingkah laku dapat dibenarkan kecuali tingkah laku itu dilarang dalam nash al Qur'an maupun as Sunnah". Tapi pernyataan ini, tidak dapat menjawab permasalahan sepele saja, yaitu tentang kasus "kromo Inggil" di atas. Kalo menurut dalil Ushul ini, bisa saja berbicara dg bahasa terserah dapat dibenarkan karena tidak ada larangannya dalam al Qur'an maupun as sunnah.
Walaupun banyak yang tidak memasukkan konsep "muruah" ataupun "urf" sebagai bagian dari penentuan hukum, secara prasadar sebenarnya hal ini sedikit banyak disetujui hampir semua komunitas kaum muslimin. Kaum Wahhabi Jawa pun tidak ketinggalan bermoralitas sebagaimana moralitas Jawa, terutama pada penggunaan bahasa inggil. Tetapi semestinya, konsepsi "muruah" lebih diberikan tekanan agar "pribumisasi Islam" dapat ditegakkan di bumi Nusantara ini. Banyak komunitas muslim Jawa yang meninggalkan busana Jawa, kesenian Jawa, dan tradisi Jawa seperti dakonan, dll, merupakan suatu kemunduran. Malahan tradisi-tradisi ini semakin dikembangkan oleh pihak gereja untuk mengembangkan ajaran mereka di tengah komunitas orang-orang Jawa. Bahkan Gereja Jawa berdiri dengan pidato dengan menggunakan bahasa Jawa.
Selain itu kasus Syeikh Puji, merupakan kasus yang membuat kita sesak dada, melihat ia mengklaim bahwa apa yang ia lakukan berdasarkan pada ajaran al Qur'an dan As Sunnah, terutama ia menukil perbuatan Nabi yang menikahi Siti Aisyah. (sebenarnya sangat aneh, ia sendiri tidak menukil kisah pernikahan Nabi dengan wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya). Ia bisa dikatakan taat kepada al Qur'an dan Hadits baru pada tataran teks, tetapi tidak taat kepada nilai-nilai akhlaq yang justru sebagai salah satu inti dari ajaran kedua hukum islam itu sendiri.Dalam tradisi islam juga mengenal apa itu yang dinamakan "akhlaq", "adab", "muruah", "urf" dan sebagainya. Kalau Nabi menikah dengan Aisyah, ia tidak dapat dikatakan sebagai suatu hal yang tercela, karena pernikahan dengan anak di bawah umur merupakan hal yang sangat lazim pada waktu itu. Berbeda sekali dengan kasus Syeikh Puji, dimana sekarang keadaan telah mengalami perubahan yang sangat drastis sehingga menikah dengan anak kecil dianggap sangat lucu dan aneh. Pernikahan dengan anak kecil sebagaimana diklaim oleh Syeikh Puji itu bagaikan seseorang yang hendak memaksakan diri untuk memelihara budak, karena rasulullah sendiri punya budak. (perbedaan dengan saat ini diakibatkan oleh sejarah, kondisi, kultur, dan keadaan sosial masyarakat,yang memungkinkan "nilai-nilai" itu juga mengalami keperubahan terus menerus).
Karena salah satu inti dari ajaran Islam berkenaan dengan masalah akhlaq, maka melihat nilai-nilai apa yang berlaku di tengah masyarakat menjadi suatu keniscayaan apabial seorang muslim itu dapat disebut sebagai orang yang berakhlaq. dari Rasul maupun Aristotel sendiri, mereka tak akan disebut tercela karena mereka telah memiliki budak karena masyarakat pada waktu itu memungkinkan keadaan kepemiikan budak sehingga kepemilikan budak dianggap hal yang wajar. Kecuali apabila nilai-nilai tradisi itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, misalnya menyediakan sesajen di beberapa tempat yang dianggap keramat. Itu merupakan nilai yang dikatakan baik menurut tradisi setempat, tetapi karena bertentangan secara kontras dengan hukum Islam, maka hal demikian itu menjadi haram adanya.
Jadi hendak lah dibedakan antara suatu tindakan yang tidak terkena hukum dan tindakan yang dikenai beberapa ketentuan syara' misalnya haramnya babi. Apabil tindakan itu tidak terkena hukum syara' maka tindakan itu hendaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat budaya setempat, seperti etika tentang berapa usia wanita yg pantas untuk dinikahi, kehalalan poligami hendaknya juga memperhatikan adat istiadat setempat, dll.
Karena muruah sangat terkait dengan Kesadaran/pengalaman manusia pribadi dalam hubungannya dengan relasi manusia yang lain, maka sifat dari muruah itu;
1. Tidak kaku / lentur
2. Berubah-ubah sesuai dengan keperubahan nilai dalam masyarakat.
3. Dibatasi dengan hukum syara' yang qoth'i.