Select Menu
Select Menu

Favourite

Jawa Timur

Wisata

Donasi Untuk Palestina

Culture

Transportasi Tradisional

Rumah Adat

Bali

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » Ekspektasi terhadap JOKOWI terlalu Tinggi Sih .. !


Abahe Ramona 01.56 0


Banyak artikel yang mengaitkan antara Jokowi dan Banjir, baik itu dari pendukung maupun kritikus Jokohok. Para Kritikus tidak selamanya menyalahkan Jokohok terkait banjir Jakarta. Sebagian Kritikus malah bersifat realistis. Karena mereka juga menyadari bahwa Jakarta itu bisa dibilang wilayah ‘muara’, maka tak heran kalau terjadi banjir. Kalau mau bebas dari banjir, maka Jakarta perlu dipindahin saja ke Kota Bogor. Tak tepat sasaran jika mengkritik Jokohok melalui banjir yang terjadi di Jakarta saat ini.

Tapi tak etis pula jika berusaha menangkal kritik-kritik terhadap kepemimpinan Jokowi secara membabi-buta dan tidak tepat sasaran juga. Seperti gambar peta titik banjir yang diupload oleh salah seorang pendukung Jokohok sebagaimana berikut ini; 

Katanya di tahun 2013, banjirnya segini besarnya >>
13903619181475402177
Dan di tahun 2014 cuman segini >>
1390362006999902919
Tuh dikit kan? Hehe.. sebenarnya dua peta di atas dikeluarkan dari pihak yang berwenang yaitu pihak BPBD DKI dan BNPB, tetapi penafsiran terhadap data pun seharusnya dengan cara benar pula. Coba saja kalo gambar terakhir benar-benar dikeluarkan sebagai peta resmi pendistribusian bantuan saat ini, BPBD DKI bisa dikepung orang se-Jakarta. Xixiixi

Harus fair lah dalam bermain. Ketika banjir datang, para kritikus tak boleh menjadikan banjir sebagai senjata, karena tidak tepat katanya. Tetapi jika terjadi sebaliknya, Jakarta tak banjir, maka logikanya tak tepat pula jika menjadikannya sebagai indicator keberhasilan Jokohok. Jika Jakarta tak banjir, paling segala sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan Jokowi dikatakan sebagai kunci menanggulangi banjir, dari pelarangan topeng monyet sampe plat nomer ganjil-genap yang tak jadi. hehe

Perkaranya sekarang ini bukan perkara “Jokowi Bersalah Atas Banjir Jakarta”. Jadi tulisan ini tidak memperkarakan Jokowi dengan banjir, karena hal ini sudah ditulis oleh puluhan kompasianer. Kami hanya mau “melihat sekilas ke belakang” saja, tentang sebab besarnya ekspektasi warga Jakarta terhadap Jokowi.

Ekspektasi adalah harapan atau keinginan dari para customer terhadap kualitas pelayanan yang akan diberikan kepadanya. Ekspektasi ini dapat berupa ekspektasi dari para pelanggan restoran terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepadanya, ekspektasi dari pendukung tim bola terhadap kualitas permainan tim kesayangannya, atau ekspektasi dari rakyat terhadap kualitas kebijakan pemimpinnya. 

Tak dapat dibayangkan bagaimana mungkin Jokowi yang tahun 2010’an tak dikenal oleh orang-orang Jakarta, tiba-tiba namanya muncul sebagai pemenang mutlak pada Pilkada tahun 2012. Kenapa kebanyakan warga DKI memilih dia sebagai gubernur DKI? Karena ekspektasi terlalu tinggi yang diberikan warga kepadanya di Pilkada tahun lalu.

Dalam benak orang awam, kualitas pemimpin sangat menentukan maju tidaknya rakyat yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya berkualitas, otomatis warga yang dipimpinnya akan makmur sejahtera. Jika pemimpinnya cacat, maka warga tidak akan sejahtera. Mereka tak terlalu dipusingkan dengan banyak variable keberhasilan daerah, satu-satunya variable yang mereka nilai adalah kualitas pemimpinnya, yang mereka nilai sendiri berdasarkan apa-apa yang disampaikan kepada mereka (dari media tentunya). Mereka tak pikirkan seberapa laju pertumbuhan ekonomi, seberapa potensi daerah, seberapa besar APBD & PAD’nya, mereka itu hanya memikirkan satu variable keberhasilan daerah, yaitu PEMIMPINNYA. Apalagi ditambah judul bacaan yang ‘menyesatkan’, seperti “Sri Supeno Bawa Kota yang dipimpinnya menuju Kemajuan bla bla bla” dsb.

Tiba-tiba, mereka kedatangan orang, (yang digadang-gadang media massa), luar biasa sebagaimana gambaran ideal mereka selama ini;

4. Pemimpin yang berpenampilan sederhana, apa adanya, terbuka dan tidak selalu menunjukkan kekakuan birokrasi.
5. dan sedabrek kualitas2 lain yang disandangnya.

Dengan pemimpin seperti ini, maka banyak yang mengharapkan Jakarta bim salabim jadi kota yang maju, dan semua permasalahan dapat teratasi dengan baik, termasuk masalah banjir. >> http://megapolitan.kompas.com/read/2012/09/21/17300060/Warga.Kampung.Apung.Berharap.pada.Jokowi
 
Apalagi hal itu diikuti dengan “kesanggupan” Jokowi untuk memimpin DKI. Dengan membawa bekal “keberhasilan”nya memimpin Solo, ia akan bebaskan Jakarta dari banjir (dan kemacetan) hanya dalam rentang waktu 3 tahun. >> http://www.rmol.co/read/2011/06/28/31483/Walikota-Solo . plus penghargaan-penghargaan yang diraihnya berkat kemajuan kota Solo di bawah kepemimpinannya. >> http://www.merdeka.com/peristiwa/jokowi-tinggalkan-banyak-warisan-di-solo-tentang-jokowi-7.html Orang-orang luar Solo kagum dan mengira bahwa Solo telah berubah ke arah kemajuan di tangan Jokowi. (meski orang Solo sendiri banyak yang bingung, dimana ya letak kemajuan kotanya? Hehe).

Ditambah lagi katanya walikota ini digambarkan punya terobosan-terobosan luar biasa dalam memajukan kotanya. Lihat saja dengan inisiatifnya membuat mobil nasional dengan potensi daerah yang dimilikinya, Esemka, dengan melibatkan para siswa SMK saja, produksi mobil dalam negeri akan dapat bersaing dengan mobil-mobil import. (begitu lah gembar-gembornya media waktu itu, hehehe ). Siapa yang tidak berekspektasi tinggi jika dihadapkan pada pemimpin SEHEBAT ini??. Para intelek saja dapat terpengaruh, apalagi orang-orang awam, yang daya kritisnya rata-rata lebih rendah daripada si intelek

Benar saja apa dalam benak rakyat, sesaat setelah terpilih jadi gubernur, Jokowi langsung membuat GEBRAKAN brak brak brak!!! (istilah yang diberikan media kepada Program2 Pemda pimpinan Jokowi dengan istilah GEBRAKAN, sedang Pra-Jokowi cukup dikasih embel2 KEBIJAKAN, antara Kebijakan dan Gebrakan, padahal 2 istilah itu sebenarnya essensinya sama kok, hehehe ). Lihat saja GEBRAKAN yang dilakukan Jokowi terkait dengan penanggulangan banjir sebagaimana berikut ini;

1. Pengerukan Waduk Pluit. Program ini dipercaya untuk menanggulangi banjir, padahal waduk Pluit hanya dikeruk 1 sampai 2 meter, itu saja dengan 10 hektar dari total 80 hektar luas waduk. Lalu dibuat taman, biar kelihatan indah. BELANDA PERLU BELAJAR KEPADA JOKOHOK. Sehebat-hebatnya orang Belanda dalam urusan HIDROLOGI, mereka jelas tak mungkin bisa seperti Jokohok, menanggulangi banjir dengan membuat TAMAN, kan? Hehehe 

2. Normalisasi Waduk Ria Rio. Meski waduk ini berukuran seupil, tetapi DIPERCAYA dapat mencegah Jakarta dari bahaya banjir. >> http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/04/5/192212/Pengerukan-Waduk-Ria-Rio-Antisipasi-Banjir . meski waduk ini besarnya 1/10 waduk Pluit, tetapi normalisasi 2 waduk ini sama-sama membutuhkan dana 1 Triliun.
3.
Melihat kembali bagaimana Jokowi, dari sebelum terpilihnya jadi Gubernur DKI hingga masa pra-banjir kemaren, maka LETAK PERMASALAHANNYA bukan terletak pada Banjirnya an sich, tetapi pada ancaman kehancuran rekayasa opini (Politik Pencitraan) yang selama ini benar-benar dijaga oleh media-media pro-Jokowi untuk mensukseskannya di Pilpres 2014 mendatang.
Karena untuk mencapai hal itu, maka selama ini ada 2 hal yang mereka lakukan;
1. Membuktikan bahwa Jokowi sanggup memimpin DKI, dengan melakukan sosialisasi besar-besaran terhadap segala program yang dilakukan oleh Pemprov setempat. Sehingga program-program tersebut dapat berjalan sesuai dengan RKP (Rencana Kerja Pemerintah) yang disusunnya. Selain itu perlu juga;
2. Memperkenalkan diri sebagai pemimpin merakyat, sederhana, terbuka, apa adanya, cerdas, hingga perlu terjun langsung di lapangan, dan bersosialisasi dengan wartawan dan masyarakat kalangan bawah. Hal ini sering menyebabkan kurangnya koordinasi antar instansi, bahkan koordinasi dengan kepala daerah sekitar Jakarta (Depok, Tangerang, Bekasi) sebelum musim hujan, serta terpuruknya program-program yang direncanakannya, termasuk program penanggulangan banjir. >> http://www.koran-sindo.com/node/349234
Mempercayai bahwa seorang pemimpin (siapa saja pemimpinnya) bisa mengatasi banjir Jakarta sama saja dengan mempercayai obat-obat “superkuat” yang dijual dipasar-pasar loak, termasuk pemimpin kayak Jokowi ini. Lihat saja bagaimana para penjual dengan gaya meyakinkan dapat mempengaruhi para pembeli untuk mempercayai dan membeli obat-obatan yang dijualnya. Kalo tak percaya, coba deh bandingkan LEBIH MEYAKINKAN MANA cara ngomongnya, antara para penjual obat di pasar loak sama penjual obat konvensional di apotik-apotik??. Paling obat kuat yang diberikan sama apa yang dijual di toko-toko obat, tetapi ditambahin dengan ungkapan2 meyakinkan untuk menambah efek Placebo. 

Jokowi dalam masalah banjir ini tak perlu disalahkan, karena ia bagaikan “obat superkuat”nya, hanya pasif belaka, sedangkan media-media sebagai penjualnya. Sebagai penjualnya, kita tak perlu menyalahkan mereka, karena hanya dengan cara seperti itu, mereka dapat makan. Kita juga tak dapat menyalahkan pembelinya, karena mereka tak pernah punya pengalaman dikibulin penjual. Biasalah si penjual suka ngibul, katanya obat yang dijualnya lebih manjur dari obat2an konvensional, karena obat yang dijualnya ber-merek “BLUSUKAN & GEBRAKAN”. Sebenarnya sama saja, cuman yang biasa ditawarkan dengan cara lebih meyakinkan untuk menambah efek Placebo.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama