Ekonomi Liberal: Rusak dan Menyengsarakan
Abahe Ramona
05.26
0
Demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme
memiliki hubungan sangat erat. Keduanya seperti dua sisi mata uang.
Pasalnya, keduanya lahir dari akidah yang sama. Itulah sekularisme.
Sekularisme melahirkan demokrasi di bidang politik dan
kapitalisme-liberal di bidang ekonomi.
Demokrasi akan berjalan bila didukung
oleh dana yang besar. Karena itu demokrasi kemudian ditopang oleh sistem
ekonomi kapitalisme-liberal. Sistem ekonomi kapitalis liberal akan
tumbuh subur dalam iklim kebebasan yang membolehkan orang memiliki
segala sesuatu dengan cara apapun. Kebebasan itu diberikan oleh
demokrasi. Sistem politik demokrasi dijalankan oleh penguasa. Sistem
ekonomi kapitalis digerakkan oleh pengusaha. Dengan demikian secara
praktis kolaborasi demokrasi dengan kapitalisme meniscayakan adanya
persekutuan penguasa dengan pengusaha, atau penguasa sekaligus sebagai
pengusaha.
Kekayaan untuk Asing
Bahaya terbesar yang dihasilkan dari
kerjasama keduanya adalah hadirnya negara korporasi. Negara korporasi
adalah negara yang dihela oleh persekutuan kelompok politikus dan
kelompok pengusaha. Dalam negara korporasi, negara dijadikan sebagai
instrumen atau kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik akhirnya
lebih mengabdi pada kepentingan para pemilik modal dan pihak asing.
Adapun kepentingan rakyat mereka abaikan.
Contoh negara korporasi terbesar di
dunia adalah Amerika Serikat. Pengaruh korporasi dalam pemerintahan
negara adidaya ini bukan saja terhadap politik dalam negeri, namun juga
terhadap politik luar negerinya. AS melakukan penjajahan atau
imperialisme demi keuntungan perusahaan-perusahaan besarnya.
Salah satu korban kejahatan negara
korporasi AS adalah Irak.Ketika AS menginvasi Irak, sesungguhnya itu
tidak berdasarkan satu pun alasan rasional yang bisa diterima. Ketika
para pejabat keamanan AS mengatakan bahwa invasi diperlukan untuk
menghancurkan senjata pemusnah massal, faktanya Irak ketika itu tidak
memiliki senjata yang dimaksud. Begitu juga ketika dikatakan bahwa
invasi diperlukan untuk menumbangkan Presiden Saddam Hussein, sebenarnya
untuk menumbangkan Saddam tidak perlu sampai harus melakukan invasi
karena toh Saddam adalah boneka AS. Dia dulunya adalah agen CIA ketika
Bush senior menjadi direkturnya.
Jelas sekali, invasi itu dilakukan tidak
lain demi memuaskan ambisi kaum pebisnis yang ada di sekitar Presiden
Bush, yaitu pebisnis senjata, minyak dan infrastruktur. Keluarga Bush
sendiri adalah pebisnis minyak. Dengan invasi yang dibiayai negara,
senjata yang diproduksi oleh pabrik-pabrik senjata yang dimiliki oleh
para pejabat pemerintahan Bush tentu menjadi laku.
Ketika Irak sudah hancur, pemenang
tender rekonstruksi Irak adalah Bechtel. Ini adalah perusahaan
konstruksi penyokong utama Presiden Bush. Lalu dari mana biaya ratusan
miliar dolar AS untuk rekonstruksi? Gampang saja. Semua diambil dari
hasil minyak Irak yang sangat melimpah itu. Jadi ini adalah bisnis
besar. Sangat besar, sekaligus sangat jahat. Irak dihancurkan oleh AS.
Lalu perusahaan AS juga yang memperbaiki, tetapi dengan duit dari Irak.
Irak porak-poranda. Perusahaan AS tertawa dan dapat menguasai minyaknya.
Negara korban lainnya adalah Indonesia.
Misalnya, dalam kasus blok kaya minyak Cepu. ExxonMobil, perusahaan
minyak raksasa dunia, bisa memaksa pemerintah AS untuk ikut campur
tangan agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah
Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur
tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph
Boyce dan Presiden Bush. Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice
langsung datang ke Indonesia untuk urusan itu. Pemerintah pun akhirnya
menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon, bukan kepada Pertamina sebagai
perusahaan Indonesia. Hingga saat ini, Exxon Mobile tetap menguasai Blok
Cepu. Minyak pun dikuasai pihak asing.
Skenario yang hampir sama diulangi lagi
dalam persoalan pengelolaan Blok Mahakam. Perusahaan minyak Prancis,
TOTAL, telah menguasai blok kaya minyak tersebut sejak 1967, beberapa
pekan setelah Soeharto menjadi presiden. Beberapa bulan sebelum Presiden
Soeharto lengser, kontrak itu diperpanjang selama 20 tahun sehingga
akan berakhir 31 Maret 2017.
Kini, menjelang Pemilu Presiden 2014
yang menandai berakhirnya Pemerintahan Presiden SBY, perusahaan migas
dari Perancis ini bisa jadi memainkan beragam jurus demi tetap
mencengkeram Blok Mahakam agar tetap dalam genggaman. TOTAL pun masih
mengelola beberapa blok migas mereka yang lain di wilayah Indonesia.
Namun, seperti apa sikap sikap
pemerintahan SBY? Melalui Menteri ESDM Jero Wacik dikatakan bahwa
kontrak Blok Mahakam baru berakhir 2017 mendatang. Jadi tidak terlalu
penting diputus oleh pemerintahan sekarang. “Daripada saya dicurigai
cari dana kampanye, ya sudah, biar diputuskan pemerintah baru. Biar
mereka yang pusing,” ungkap Jero Wacik, kepada pers di Jakarta, 11 April
2013 lalu.
Tak lama setelah dikeluarkannya sikap
pemerintah atas Blok Mahakam, seperti yang ditegaskan Jero Wacik, pada
10 Juli lalu Wakil Presiden Senior Total E&P Asia Pasifik, Jean
Marie Guillermou, terbang ke Jakarta untuk menemui Menteri ESDM Republik
Indonesia. Kedatangan Guillermou menemui Jero adalah untuk meminta
kepastian perpanjangan Blok Mahakam. Padahal Menteri ESDM sudah
mengatakan sebuah kepastian sebelumnya, melalui pernyataan 11 April 2013
lalu. Sebuah upaya melobi untuk mendesak?
Lalu berubahkah sikap Jero Wacik? Memang
pernyataan Jero bisa menimbulkan spekulasi bahwa Pemerintah condong
akan kembali memperpanjang kontrak TOTAL dan partnernya, Inpex, di Blok
Mahakam. Pasalnya, keputusan akhir tentang blok itu memang ada
Kementerian ESDM.
Yang jelas, suara-suara yang meragukan
kemampuan Pertamina mengelola blok Mahakam terus disuarakan. Salah
satunya oleh Ari Sumarno, mantan Direktur Utama Pertamina yang pada masa
kepemimpinannya Blok Cepu diserahkan kepada ExxonMobil, Maret 2006.
Ari Sumarno menyatakan bahwa PT
Pertamina (Persero) dinilai belum mampu mengelola Blok Mahakam tanpa
bantuan operator lain. Pasalnya, dengan aset yang dimiliki saat ini,
Pertamina belum juga mampu meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi di
lapangan milik mereka sendiri.
Ari Sumarno mengatakan Blok Mahakam
merupakan lapangan migas yang secara teknis sulit dikelola lantaran
terdiri dari dua jenis lapangan, yaitu di darat (onshore) dan di laut (offshore).
Dengan begitu, diperlukan teknologi yang lebih rumit dibanding lapangan
migas di darat. Demikian ujar Ari kepada wartawan di Jakarta Senin
(25/2/2013).
Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Migas (SKK Migas) yang sekarang menjadi
tersangka korupsi dan gratifikasi, juga menyebut pengelolaan blok
Mahakam seperti makan bubur ayam. Pertamina diharuskan belajar ‘makan’
blok Mahakam dari pinggir dan selanjutnya ke tengah.
Kepala BP Migas R Priyono (Juli, 2013)
mengatakan, “Jika Pertamina ingin mengelola Blok Mahakam, harus ada masa
transisi dulu. Pertamina sementara transisi dulu, biar TOTAL yang
jalan.”
Sikap Pemerintah yang mendahulukan
perusahaan asing daripada Pertamina menunjukkan kuatnya pengaruh
korporasi asing dalam menentukan kebijakan di Indonesia, bahkan dalam
pembuatan undang-undang. UU no 22 tahun 2001 tentang Migas menempatkan
Pertamina perusahaan milik negara ini sama seperti perusahaan-perusahaan
minyak lainnya, yang harus melakukan tender agar bisa mengelola sumur
minyak di bumi Indonesia.
Banyak sekali kekayaan negeri Muslim
terbesar ini yang diserahkan kepada pihak asing. Penguasa berkolaborasi
dengan pengusaha merampas kekayaan rakyat, lalu menyerahkannya kepada
pihak asing. Lebih dari 80 persen ladang migas di Indonesia dikuasai
oleh pihak asing! Adapun rakyat sebagai pemilik kekayaan alam tersebut
tetap dalam kesengsaraan.
Kapitalisasi Kesehatan
Tak cukup menjarah kekayaan alam
Indonesia, korporasi dan penguasa di negeri Muslim terbesar ini berusaha
mendapatkan uang dari rakyat melalui kapitalisasi kesehatan. Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengadopsi jaminan kesehatan
kapitalistik mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2014.
JKN ini membawa seperangkat
konsep-konsep yang membius dan menyesatkan, dibangun di atas logika
berpikir yang batil. Beberapa prinsip yang dianut program ini di
antaranya:
- Pelayanan kesehatan harus dikomersialkan.
Konsep ini telah dipaksakan World Trade
Organization (WTO) untuk diadopsi dunia, khususnya negara-negara anggota
WTO. Layanan kesehatan dimasukkan ke dalam salah satu layanan dasar
yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan General Agreements Trade in
Services (GATS), tahun 1994.
- Pembatasan peran Pemerintah sebatas regulator dan fasilitator.
Konsep ini berangkat dari pandangan
bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial lebih kapabel daripada
Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. German Technical
Cooperation Agency (GTZ), sebuah organisasi layaknya perusahaan swasta
yang dimiliki oleh Pemerintah Federal Jerman yang aktif membidani
kelahiran JKN, menjelaskan, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial
(Indonesia, JKN) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan
pelayan kesehatan dari pemerintah ke institusi yang memiliki kemampuan
tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan
sosial.”
Dalam konteks JKN, institusi yang
dimaksud adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Tertuang dalam ayat 1 pasal 1, UU No. 24 Tahun 2011, tentang BPJS: “Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
sosial.”
Kewenangan BPJS Kesehatan sangat luar
biasa, mulai dari menagih (baca: memaksa) pembayaran dari masyarakat,
mengelola dana masyarakat tersebut, sampai dengan mengelola pelayanan
kesehatan itu sendiri.
Terkait BPJS Kesehatan, meskipun badan
hukum publik, prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata
kelolanya (Lihat: bunyi butir b Pasal 11 tentang wewenang BPJS).
Intinya, BPJS dikehendaki untuk menjadi pengelola finansial dan pelayan
publik (kesehatan) sekaligus dengan tetap mengedepankan prinsip
korporasi, yaitu mendapatkan profit yang memadai.
UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia secara terbuka telah mengadopsi konsep Public Private Partnership/Kemitraan
Pemerintah dan Swasta (KPS) sebagai konsep pembangunan dan tata kelola
sistem kesehatan dan pelayanan publik pada umumnya.
Di sinilah kita secara gamblang
menyaksikan bagaimana negara korporasi mengambil manfaat dan keuntungan
yang besar dari dana masyarakat yang dihimpun melalui iuran JKN. Siapa
yang diuntungkan? Tentu para pengusaha yang mencukongi para penguasa.
Bagaimana dengan kondisi rakyat? Rakyat tetap sengsara.
Apa penyebab kerusakan dan persoalan
ini? Semua kerusakan dan persoalan ini terjadi karena penerapan sistem
ekonomi liberal di Indonesia.
Berharap pada Pemilu 2014?
Dalam Pemilu 2014, tidak ada satu partai
pun yang memandang bahwa sistem ekonomi kapitalis sebagai problem yang
membuat rakyat Indonesia menderita. Bahkan kolaborasi politikus dan
pengusaha makin menonjol pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Golkar, Gerindra, Nasdem, Hanura dan PKB.
Santer dibicarakan, pencalonan Jokowi
dari PDIP didukung oleh 9 taipan/konglomerat Cina. Elite PDIP bertemu
dengan Dubes Amerika Serikat (AS), Robert Blake, di rumah pengusaha
Jacob Soetoyo. Mereka juga bertemu dengan Dubes Vatikan. Jika PDIP
berada di puncak kekuasaan maka kolaborasi pengusaha dengan penguasa
akan makin kokoh. Jokowi sendiri seorang pengusaha. Dengan demikian
negara korporasi di Indonesia akan makin kokoh. Selama ini ekonomi
Indonesia sudah dikuasai oleh kelompok Cina perantauan/overseas, dan kini pengaruhnya langsung ke bidang politik.
Bagaimana bila Prabowo yang menjadi
RI-1? Prabowo juga memiliki jaringan usaha. Di belakang dia ada
pengusaha yang juga adiknya, Hashim Djojohadikusumo.
Partai lain juga tidak jauh berbeda.
Sekadar contoh: Aburizal Bakrie, Ketum Golkar; Hary Tanoe, Bos MNC Grup,
Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup, Wakil Ketua
Umum PKB; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai Nasdem.
Pimpinan PPP, PKS, PAN, PBB dan PKPI memang bukan pengusaha, namun tidak
berarti partai-partai itu steril dari pengaruh para pengusaha.
Jelas, semua parpol makin pragmatis, miskin ideologi (less ideology)
dan makin menampakan wajah dan sifat kapitalis liberalistik. Lihatlah
bagaimana koalisi dibentuk hanya berdasarkan pragmatisme politik,
bagi-bagi kekuasaan dan jabatan, serta berkoalisi untuk calon presiden
yang peluang menangnya besar.
Oleh karena itu, alih-alih mengatasi
kerusakan, hasil Pemilu 2014 menegaskan bahwa perwujudan Indonesia
sebagai negara korporasi akan makin nyata. Kelak, keputusan-keputusan
politik dibuat bukan demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan
para pebisnis. Kader partai di parlemen hanya akan menjadi alat
legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. UU yang
sangat liberal-kapitalistik akan lebih banyak lagi bermunculan.
Muaranya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan
struktural dan kesenjangan kaya-miski yang makin menganga.