Menguak Mafia Migas dan Kolusi KPK
Abahe Ramona
05.18
0
By : Raden Nuh
Sudah hampir lima bulan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Agustus 2013, hingga kini KPK hanya mampu menyita uang sekitar US$ 1,22 juta, diantaranya diperoleh saat Rudi tertangkap tangan, uang sitaan dari ruang kerja Sekjen ESDM, deposit box di Bank Mandiri dan brankas SKK Migas. KPK hanya berkutat pada penetapan status Rudi, Simon Tanjaya (Kernel Oil) dan Deviardi (pelatih golf) sebagai tersangka, plus pencekalan 3 pejabat SKK, yakni Agus S. R. (Divisi Komersialisasi Minyak & Kondensat), Popi A. N. (Divisi Komersial Gas) dan Iwan Ratwan (Divisi Operasi).
Sudah hampir lima bulan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Agustus 2013, hingga kini KPK hanya mampu menyita uang sekitar US$ 1,22 juta, diantaranya diperoleh saat Rudi tertangkap tangan, uang sitaan dari ruang kerja Sekjen ESDM, deposit box di Bank Mandiri dan brankas SKK Migas. KPK hanya berkutat pada penetapan status Rudi, Simon Tanjaya (Kernel Oil) dan Deviardi (pelatih golf) sebagai tersangka, plus pencekalan 3 pejabat SKK, yakni Agus S. R. (Divisi Komersialisasi Minyak & Kondensat), Popi A. N. (Divisi Komersial Gas) dan Iwan Ratwan (Divisi Operasi).
KPK seolah – olah tidak mampu menyeret terduga pelaku korupsi sektor
migas lain yang sejatinya lebih besar dan merupakan pemain utama mafia
migas Indonesia. Mandegnya pengembangan kasus suap terhadap Rudi
Rubiandini, molornya pemeriksaan sekjen ESDM sebagai saksi hingga lebih 2
bulan sejak Rudi ditahan, keengganan KPK memeriksa Menteri ESDM Jero
Watjik, Kepala SKK Migas Johanes Widjanarko (pengganti Rudi), Lambok
Hutauruk (Deputi Pengendalian Bisnis SKK Migas), dan nama – nama anggota
serta pimpinan komisi VII DPR yang tercantum di buku catatan pribadi
Waryono Karno merupakan petunjuk atau indikasi jelas bahwa KPK telah
memainkan “skenario tertentu agenda tersembunyi” dari pihak tertentu
yang diduga kuat adalah MAFIA MIGAS REPUBLIK INDONESIA.
Entah sebabnya, KPK terkesan ‘main mata’ dalam penyidikan /
pendalaman / pengembangan kasus korupsi itu. Tidak jelas kapan terduga
koruptor dan mafia seperti Waryono Karno, mantan Sekjen ESDM yang selama
ini disebut – sebut sebagai Sekjen ESDM sepanjang masa. Padahal, dari
brankas ruang kerjanya, penyidik KPK telah menyita uang dan buku catatan
pribadi, yang mencantumkan nama – nama orang pemberi uang dan penerima
uang.
Jumlah suap yang diberikan kepada Rudi tergolong kecil jika dibanding
dengan potensi rente yang dapat diraih dari berbagai bidang industri
migas. Triliunan Rp temuan BPK di sektor migas periode 2000-2012
mengkonfirmasi hal ini. Di benak masyarakat berkembang persepsi, sektor
migas memang sarat korupsi yang telah akut. Lahan korupsi sektor migas
dan solusi yang mungkin diambil dibahas dalam tulisan ini.
Tercium bau busuk dari sebuah konspirasi Mafia Migas bekerja sama
dengan oknum KPK untuk menghancurkan Rudi Rubiandini melalui dugaan
gratifikasi yang sebenarnya sangat lemah dan penuh rekayasa.
Keterlibatan KPK dalam rekayasa hukum atau kriminalisasi terhadap Rudi
Rubiandini terbukti ketika KPK ketahuan telah membohongi rakyat
Indonesia saat Rudi ditangkap dengan memalsukan barang bukti yang
disampaikan KPK secara resmi kepada publik.
KPK pada tanggal 13 Agustus 2013 dengan sengaja memalsukan barang
bukti dengan menyebut motor BMW berikut dengan BPKB motor BMW merupakan
bagian dari gratifikasi Deviardi kepada Rudi Rubiandini. BPKB BMW itu
disebut KPK disita dari rumah kediaman Rudi Rubiandini saat OTT
dilakukan. Belakangan, diketahui bahwa pernyataan KPK tersebut adalah
salah dan bohong. Motor BMW bukan bukti gratifikasi dan BPBP Motor BMW
itu disita penyidik KPK dari rumah Devi Ardi. Bagaimana
pertanggungjawaban KPK terhadap pelanggaran hukum serius yang dilakukan
oknum – oknum KPK terkait rekayasa barang bukti dan pembohongan publik
itu ? Tidak diketahui. Gelap, sama seperti kasus – kasus pelanggaran
hukum, etika dan prosedur yang sering dilakukan KPK selama ini.
Jenis kegiatan yang dapat menjadi lahan korupsi antara lain pada
penetapan cost recovery (CR), penjualan minyak bagian negara, lelang
wilayah kerja (WK), perpanjangan kontrak, alokasi penjualan gas dan
penetapan sub-kontraktor jasa pendukung. Dalam penetapan CR, modus yang
dilakukan berupa penggelembungan CR dan pemasukan pekerjaan tidak
relevan CR atau bertentangan dengan PP CR No.79/2010. Dugaan korupsi
jenis ini sering dilaporkan BPK, dan untuk 2010-2012 besarnya adalah US$
221,5 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun.
Korupsi dalam proses penjualan minyak bagian negara dapat berupa
percaloan, budaya titipan pejabat dan arisan dalam penetapan penjual
(trader). Kasus Rudi terkait percaloan. Praktek lain, minyak yang
seharusnya tidak dijual (karena sesuai spesifikasi kilang), justru turut
dijual pula ke luar negeri. IRESS memperoleh informasi dari sumber
terpercaya bahwa sebagian produksi minyak lapangan Duri telah dijual
oleh trader ke luar negeri.
Dalam hal lelang WK, praktek yang terjadi berupa pemilihan kontraktor
yang melanggar prosedur atau yang berstatus broker. Kontraktor terpilih
bukan yang terbaik berdasar hasil evaluasi, seperti pada penetapan
pemenang Blok migas Semai V (2007). Para broker ditunjuk karena
mempunyai informasi dan kedekatan dengan oknum penguasa. Tak jarang WK
menganggur karena calo belum berhasil mendapatkan investor, sehingga
negara rugi akibat tidak berproduksinya WK. Bonus tandatangan dari
pemenang bisa pula dikorupsi.
Korupsi pada perpanjangan kontrak migas dapat terjadi karena tidak
adanya rujukan peraturan dan tarif (disenagaja?). Padahal secara global
tarif akuisisi cadangan migas terbukti berkisar 10-20% harga pasar
migas. Dalam kasus perpanjangan kontrak blok West Madura Offshore
misalnya, negara hanya memperoleh US$ 5 juta sebagai signatory bomus
dari Kodeco (Korea) untuk saham 20%. Padahal jika tarif akuisisi
diterapkan, minimal negara bisa memperoleh US$ 300 juta! Siapa yang
menikmati selisih pembayaran tsb?
Kegiatan penetapan alokasi gas juga dapat menghasilkan rente yang
besar bagi para koruptor. Umumnya yang menjadi korban adalah BUMN
seperti PLN atau pabrik pupuk. Kasus kerugian PLN sebesar Rp 37 triliun
pada 2009-2010 disebabkan oleh tindakan BP Migas mengalihkan alokasi gas
yang bukan kewenangannya, yang melanggar Pasal 50 PP No.35/2004. Dugaan
korupsi juga terjadi pada pengalihan gas bagi unit Kilang Baru Gresik
dari lapangan MDA-MBA Blok Madura Stait ke PLTU Bali dan Banyuwangi pada
akhir 2012. Negara berpotensi dirugikan ratusan miliar rupiah.
Dalam hal penunjukan sub-kontraktor industri penunjang, IRESS
menerima beberapa laporan tentang praktek permintaan fee oleh
oknum-oknum BP/SKK Migas sebesar 10-20% dari nilai proyek jika ingin
ditunjuk sebagai pemenang. Upeti tersebut diminta untuk disetorkan ke
rekening tertentu dengan dalih akan digunakan sebagai dana operasional.
“Pungutan” ini memang dibayar oleh para sub-kontraktor, tetapi kelak
akan menjadi tanggungan negara melalui mekanisme cost recovery.
Dari keenam bidang kegiatan di atas terlihat betapa luasnya lahan
yang dapat dikorupsi oleh para koruptor dan pemburu rente. Tindakan ini
semakin marak karena di satu sisi sistem kebijakan dan peraturan
bermasalah. Di sisi lain moral hazard dan nafsu berburu rente
oknum-oknum penguasa, pengusaha, kontraktor asing, partai penguasa atau
birokrat semakin meningkat. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan
sistem dan peraturan, serta peningkatan komitmen moral dan etika bisnis
pada semua pelaku/pihak yang terkait dalam industri migas.
Sistem dan pelaku perlu diperbaiki secara bersamaan. Para koruptor
harus dihukum berat untuk digantikan oleh pajabat yang berintegritas,
amanah dan profesional. Khusus subjek pelaku, tertangkapnya Rudi
merupakan pintu masuk yang harus dioptimalkan guna memberantas mafia
migas. Para pelaku lain selain Rudi di SKK Migas, Kementerian ESDM dan
lembaga lain harus diperiksa dan dituntut. Kasus ini harus dikembangkan,
tidak terhenti pada Rudi. KPK harus bertindak independen dan teguh
menghadapi berbagai intervensi.
Dalam aspek perbaikan sistem, IRESS meminta agar Pemerintah kembali
menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama yang bersifat
ideologis dan strategis. Rujukan ini telah dioperasionalkan dalam UU
Prp. No.44/1960 dan UU No.8/1971, dimana penguasaan negara atas migas
dijalankan melalui BUMN. Dalam hal ini hak ekonomi dan kekayaan migas
yang dapat dimonetisasi dan digunakan untuk aksi korporasi. Karena
berbagai kepentingan, kedua UU tersebut justru diganti dengan UU Migas
No.22/2001, sehingga saat ini tidak heran lebih dari 80% cadangan dan
produksi migas nasional dikuasai asing.
Selain lepasnya hak ekonomi atas cadangan, karena keterbatasan BP
Migas sebagai BHMN, UU Migas No.22/2001 juga memberi kesempatan kepada
perusahaan asing atau trader menjual minyak bagian negara seperti kasus
Kernel atau gas Tangguh. Padahal kita memiliki Pertamina untuk menjual.
BUMN kita juga kehilangan kesempatan untuk otomatis menguasai blok-blok
migas yang habis kontrak akibat aturan yang disengaja grey. Akibatnya
terbuka kesempatan untuk asing tetap bercokol dan oknum penguasa untuk
meperoleh rente.
Aspek pengawasan industri migas kita juga sangat lemah. BP Migas
berfungsi tanpa lembaga pengawas. SKK Migas sebagai pengganti pun
dijalankan dengan sistem pengawasan bermasalah. Pasal 8 ayat (1) jo
Pasal 9 ayat (1) menyebutkan tanggungjawab terakhir kinerja SKK Migas
ada pada Presiden. Artinya Kepala SKK setingkat dengan menteri sehingga
komisi pengawas yang diketuai Menteri ESDM tidak ada artinya. Menteri
ESDM bukanlah atasan langsung Kepala SKK Migas, tetapi Presidenlah
atasan langsungnya. Sekalipun Menteri ESDM Ketua Komisi Pengawas,
jabatan ini hanya simbol untuk pencitraan saja.
Sekarang sudah waktunya Pemerintah membubarkan SKK Migas. Sambil
menunggu sistem pengganti melalui UU Migas baru, Pemerintah dituntut
menerbitkan Perpres yang menetapkan BUMN sebagai pengganti SKK Migas,
pemegang hak ekonomi cadangan, penjual migas bagian negara dan penguasa
blok-blok habis kontrak. Dengan demikian, Pertamina mengalami
pertumbuhan aset dan keuntungan yang meningkat pesat dan peringkat
sebagai perusahaan global terbesar versi Fortune pun ikut naik.
Perbaikan status ini akan menambah pengakuan dunia dalam mengakuisisi
cadangan secara global guna meningkatkan ketahanan energi. Dalam hal ini
Pertamina pun harus memperbaiki kinerja, bebas dari pengaruh mafia
migas, dijalankan melalui tatakelola perusahaan yang baik dan
ditingkatkan statusnya menjadi non-listed public company.
KPK pernah berjanji akan menuntaskan korupsi – korupsi besar di
sektor Migas. Jika KPK hanya berkutat di gratifikasi Rudi Rubiandini
yang sarat dengan muatan rekayasa hukum dan kriminalisasi, sesungguhnya
KPK telah menjadi institusi Komisi Pelindung Korupsi. Pejabat yang belum
tentu bersalah dipaksakan menjadi tersangka, sedang koruptor – koruptor
besar dan mafia migas perampok kekayaan negara malah bebas dan
dilindungi KPK.
Apabila KPK serius bermaksud membasmi korupsi dan mafia sektor migas,
strategi penyidikan KPK tentu sangat berbeda dengan strategi penyidikan
yang dipertontonkan KPK selama ini. KPK hanya berpura – pura serius
usut dan tuntaskan korupsi, padahal mereka menjalankan pesanan atau
agenda para koruptor dan mafia migas. Bukti nyata KPK tidak profesional
dan korup adalah fakta dimana KPK hingga hari ini enggan menyidik nama –
nama terduga koruptor besar sektor migas seperti Waryono Karno, Johanes
Widjarko, Lambok Hutauruk, Efendi Simbolon , Artha Simbolon, Sutan
Batugana, Ahmad Syahroza, Andi N Sommeng dan seterusnya. Di sektor
Migas, KPK terbukti hanya menangkap semut tetapi melepaskan buaya.